Kamis, 22 Desember 2011

Cara Mengirim SMS Menggunakan Email Gmail

Sekarang saya akan membagi sedikit ilmu kepada teman-teman pembaca blog ini, yaitu cara sms lewat email (Gmail), andaikata Hape teman-teman kehabisan pulsa, dengan gmail kita bisa mengirimkan sms ke nomor Hp orang lain, misalnya pacar, teman dan saudara. Tidak usah panjang lebar, karena saya kurang pandai menyusun kata-kata.
Langsung saja buka Email Gmail kamu.
Cari di bagian kiri bawah halaman email kamu ada tampilan seperti gambar di bawah ini;
Ketik nomor tujuan yang ingin kamu sms kedalam kotak Telusuri, Ngobrol dan Sms, ingat kalau masukkan nomor harus ada kode Negara contoh (+62) untuk Indonesia,
untuk negara lain saya tida tahu.. cari sendiri yaa….
Setelah itu tekan tombol Enter di keybord kamu
Akan muncul seperti dibawah ini
Nama kenalan = isi dengan nama kontak yang ingin kamu sms
Setelah itu klik tombol Simpan atau Save
Nah kamu tinggal ketik saja kata-kata yang ingin kamu kirim ke nomor Hape pacar kamu… 
Untuk Mengirim tekan “Enter”
Gmail akan memberika kuota sms sebanyak 50 kali sms. Lumayanlah klo Cuma untuk jaga-jaga, terus kasih tau pacar kamu kalau mau balas sebaiknya langsung ke nomor Hape kamu saja, karena kalau balas lewat Gmail kamu, siap-siap saja pulsanya di potong Rp.600/sms, kasian kan.. kamu gratis pacarmu harus bayar.. kan ga relevan. Enak di loe, ga enak di pacar loe…hehe..

Rabu, 21 Desember 2011

Cara Mudah Membuat Facebook Like Box di Blog Kita

Cara mudah membuat Facebook Like Box/Like Button di blogspot, mungkin bagi mereka yang sudah sering berkecimpung dalam dunia maya (Dunia Tuyul) pasti sudah sangat memahami cara untuk memasukan tombol suka kedalam websitenya, karena mereka sudah pakar khususnya mengenai website, blogger, Facebook dan lain sebagainya. akan tetapi bagi kita yang baru belajar Online tentunya masih bingung bagaimana caranya... tapi jangan kuatir.. saya akan mencoba membagi ilmu saya...

Langsung saja ikuti langkah-langkah di bawah ini...

Pertama-tama buka akun Facebook anda lalu Buat Halaman (tau kan cara membuta halaman?) itu tarik Beranda Facebook anda sampai paling bawah sendiri pasti ada tulisan "Buat Halaman", setelah anda meng-klik  maka akan muncul berbagai pilihan dan instruksi, pilih sesuka anda lalu ikuti semua intruksi yang diberikan, artinya jika disuruh maju ya maju.. kalau di suruh mundur ya mundur.....saya tidak menjelaskan cara membuat halaman, anggap saja sudah bisa.
Tampilan awal untuk mebuat halaman seperti gambar dibawah ini;
Setelah anda selesai membuat halaman akan muncul tampilan seperti gambar di bawah ini;

Pilih point ke 3 "Poromosikan Halaman ini di situs web anda" = klik "Tambahkan Kontak Suka" (jika anda menggunakan bahasa indonesia).
Anda akan masuk ke "https://developers.facebook.com/docs/reference/plugins/like-box/" tampilanya seperti dibawah ini,
Pada "Facebook Page URL" isi URL halaman yang tadi anda buat, misalnya http://www.facebook.com/pages/namahalaman?=098768990055
"Width" = Lebar Like box anda (atur sesuai keinginan)
"Heigth"= Tinggi Like box anda (atur sesuai keinginan)
Setelah semua pengaturan dipenuhi silahkan klik "Get Code"
Copy paste kode nomor 1 Java Script sesuai yang diperintahkan (biasanya di masukkan ke dalam template)

Untuk kode nomor 2 copy paste ke dalam widget "HTML/JavaScript", lalu posisinya terserah anda mau di taruh dimana.
Hasil akhirnya seperti gambar ini


Dan selesai... teman-teman anda sudah bisa memberikan Jempol ke dalam web/blog anda.... (Maaf kalau bahasanya tidak karuan, semoga paham dan berhasil).





Selasa, 20 Desember 2011

Karakteristik Matematika Dan Hakekat Pembelajaran Matematika



KARAKTERISTIK MATEMATIKA DAN
HAKEKAT PEMBELAJARAN MATEMTAIKA

Untuk memahami karakteristik daripada matematika maka harus dipahami terlebih dahulu hakekat matematika. Menurut Hudoyo (1979:96), hakekat matematika berkenaan dengan ide-ide struktur- struktur dan hubungan-hubungannya yang diatur menurut urutan yang logis. Jadi matematika berkenaan dengan konsep-konsep yang abstrak. Jika matematika dipandang sebagai struktur dari hubungan-hubungan maka simbol-simbol formal diperlukan untuk membantu memanipulasi aturan-aturan yang beroperasi di dalam struktur-struktur.
Beberapa hakekat atau definisi dari matematika adalah sebagai berikut:
1.       Matematika sebagai cabang ilmu pengetahuan eksak atau struktur yang teroganisir secara sistematik.
Agak berbeda dengan ilmu pengetahuan yang lain, matematika merupakan suatu bangunan struktur yang terorganisir. Sebagai sebuah struktur, ia terdiri atas beberapa komponen, yang meliputi aksioma/postulat, pengertian pangkal/primitif, dan dalil/teorema (termasuk di dalamnya lemma (teorema pengantar/kecil) dan corolly/sifat).
2.       Matematika sebagai alat ( tool )
Matematika juga sering dipandang sebagai alat dalam mencari solusi berbagai masalah dalam kehidupan sehari-hari.
3.       Matematika sebagai pola pikir deduktif
Matematika merupakan pengetahuan yang memiliki pola pikir deduktif, artinya suatu teori atau matematika dapat diterima kebenarannya apabila telah dibuktikan secara deduktif (umum).
4.       Matematika sebagai cara bernalar (the way of thinking).
Matematika dapat pula dipandang sebagai cara bernalar, paling tidak karena beberapa hal, seperti matematika memuat cara pembuktian yang sahih (valid), rumus-rumus atau aturan yang umum, atau sifat penalaran matematika yang sistematis.


5.       Matematika sebagai bahasa artifisial.
Simbol merupakan ciri yang paling menonjol dalam matematika. Bahasa matematika adalah bahasa simbol yang bersifat artifisial, yang baru memiliki arti bila dikenakan pada suatu konteks.
6.       Matematika sebagai seni yang kreatif.
Penalaran yang logis dan efisien serta perbendaharaan ide-ide dan pola-pola yang kreatif dan menakjubkan, maka matematika sering pula disebut sebagai seni, khususnya merupakan seni berpikir yang kreatif.
Berdasarkan uraian-uraian hakikat matematika di atas maka dapat di simpulkan bahwa karakteristik- karakteristik matematika dapat dilihat pada penjelasan berikut:                
1.   Memiliki Kajian Objek Abstrak.
2.   Bertumpu Pada Kesepakatan.
3.   Berpola pikir Deduktif namun pembelajaran dan pemahaman konsep dapat diawali secara induktif melalui pengalaman peristiwa nyata atau intuisi.
4.   Memiliki Simbol yang Kosong dari Arti. Rangkaian simbol-simbol dapat membentuk model matematika.
5.   Memperhatikan Semesta Pembicaraan. Konsekuensi dari simbol yang kosong dari arti adalah diperlukannya kejelasan dalam lingkup model yang dipakai.
6.   Konsisten Dalam Sistemnya. Dalam matematika terdapat banyak sistem. Ada yang saling terkait dan ada yang saling lepas. Dalam satu sistem tidak boleh ada kontradiksi. Tetapi antar sistem ada kemungkinan timbul kontradiksi.
A.    Matematika memiliki objek kajian yang abstrak.
Di dalam matematika objek dasar yang dipelajari adalah abstrak, sering juga disebut sebagai objek mental. Di mana objek-objek tersebut merupakan objek pikiran yang meliputi fakta, konsep, operasi ataupun relasi, dan prinsip. Dari objek-objek dasar tersebut disusun suatu pola struktur matematika. Adapun objek-objek tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.      Fakta (abstrak) berupa konvensi-konvensi yang diungkap dengan simbol tertentu. Contoh simbol bilangan “3”  sudah di pahami sebagai bilangan “tiga”. Jika di sajikan angka “3” maka sudah dipahami bahwa yang dimaksud adalah “tiga”, dan sebalikbya. Fakta lain dapat terdiri dari rangkaian simbol misalnya “3+4” sudah di pahami  bahwa yang dimaksud adalah “tiga di tambah empat”.
2.      Konsep (abstrak) adalah ide abstrak yang dapat digunakan untuk menggolongkan atau mengklasifikasikan sekumpulan objek. Apakah objek tertentu merupakan suatu konsep atau bukan. ”segitiga” adalah nama suatu konsep abstrak, “Bilangan asli” adalah nama suatu konsep yang lebih komplek, konsep lain dalam matematika yang sifatnya lebih kompleks misalnya “matriks”, “vektor”, “group” dan ruang metrik”. Konsep berhubungan erat dengan definisi. Definisi adalah ungkapan yang membatasi suatu konsep. Dengan adanya definisi ini orang dapat membuat ilustrasi atau gambar atau lambang dari konsep yang didefinisikan. Sehingga menjadi semakin jelas apa yang dimaksud dengan konsep tertentu.
3.      Operasi (abstrak) adalah pengerjaan hitung, pengerjaan aljabar dan pengerjaan matematika yang lain. Sebagai contoh misalnya “penjumlahan”, “perkalian”, “gabungan”, “irisan”. Unsur-unsur yang dioperasikan juga abstrak. Pada dasarnya operasi dalam matematika adalah suatu fungsi yaitu relasi khusus, karena operasi adalah aturan untuk memperoleh elemen tunggal dari satu atau lebih elemen yang diketahui.
4.      Prinsip (abstrak) adalah objek matematika yang komplek. Prinsip dapat terdiri atas beberapa fakta, beberapa konsep yang dikaitkan oleh suatu relasi ataupun operasi. Secara sederhana dapatlah dikatakan bahwa prinsip adalah hubungan antara berbagai     objek dasar matematika. Prinsip dapat berupa “aksioma”, “teorema”, “sifat” dan sebagainya.
B.     Bertumpu pada kesepakatan
Dalam matematika kesepakatan merupakan tumpuan yang amat penting. Kesepakatan yang amat mendasar adalah aksioma dan konsep primitif. Aksioma diperlukan untuk menghindarkan berputar-putar dalam pembuktian. Sedangkan konsep primitif diperlukan untuk menghindarkan berputar-putar dalam pendefinisian. Aksioma juga disebut sebagai postulat (sekarang) ataupun pernyataan pangkal (yang sering dinyatakan tidak perlu dibuktikan). Beberapa aksioma dapat membentuk suatu sistem aksioma, yang selanjutnya dapat menurunkan berbagai teorema. Dalam aksioma tentu terdapat konsep primitif tertentu. Dari satu atau lebih konsep primitif dapat dibentuk konsep baru melalui pendefinisian.
C.    Berpola pikir deduktif
Dalam matematika sebagai “ilmu” hanya diterima pola pikir deduktif. Pola pikir deduktif secara sederhana dapat dikatakan pemikiran “yang berpangkal dari hal yang bersifat umum diterapkan atau diarahkan kepada hal yang bersifat khusus”. Pola pikir deduktif ini dapat terwujud dalam bentuk yang amat sederhana tetapi juga dapat terwujud dalam bentuk yang tidak sederhana.
Contoh: Banyak teorema dalam matematika yang “ditemukan” melalui pengamatan-pengamatan khusus, misalnya Teorema Phytagoras. Bila hasil pengamatan tersebut dimasukkan dalam suatu struktur matematika tertentu, maka teorema yang ditemukan itu harus dibuktikan secara deduktif antara lain dengan menggunakan teorema dan definisi terdahulu yang telah diterima dengan benar.
Dari contoh prinsip diatas, bahwa urutan konsep yang lebih rendah perlu dihadirkan sebelum
abstraksi selanjutnya secara langsung. Supaya hal ini bisa bermanfaat, bagaimanapun, sebelum kita mencoba mengkomunikasikan konsep yang baru, kita harus menemukan apakontribusi konsepnya; dan begitu seterusnya, hingga kita mendapat konsep primer yang lain.
D.    Memiliki simbol yang kosong dari arti
Dalam matematika jelas terlihat banyak sekali simbol yang digunakan, baik berupa huruf ataupun bukan huruf. Rangkaian simbol-simbol dalam matematika dapat membentuk suatu model matematika. Model matematika dapat berupa persamaan, pertidaksamaan, bangun geometri tertentu, dsb. Huruf-huruf yang digunakan dalam model persamaan, misalnya x + y = z belum tentu bermakna atau berarti bilangan, demikian juga tanda + belum tentu berarti operasi tamba untuk dua bilangan. Makna huruf dan tanda itu tergantung dari permasalahan yang mengakibatkan terbentuknya model itu. Jadi secara umum huruf dan tanda dalam model x + y = z masih kosong dari arti, terserah kepada yang akan memanfaatkan model itu. Kosongnya arti itu memungkinkan matematika memasuki medan garapan dari ilmu bahasa (linguistik).

E.     Memperhatikan semesta pembicaraan
Sehubungan dengan penjelasan tentang kosongnya arti dari simbol-simbol dan tanda-tanda dalam matematika diatas, menunjukkan dengan jelas bahwa dalam memggunakan matematika diperlukan kejelasan dalam lingkup apa model itu dipakai. Bila lingkup pembicaraanya adalah bilangan, maka simbol-simbol diartikan bilangan. Bila lingkup pembicaraanya transformasi, maka simbol-simbol itu diartikan suatu transformasi. Lingkup pembicaraan itulah yang disebut dengan semesta pembicaraan. Benar atau salahnya ataupun ada tidaknya penyelesaian suatu model matematika sangat ditentukan oleh semesta pembicaraannya.
Contoh: Dalam semesta pembicaraan bilangan bulat, terdapat model 2x = 5. Adakah penyelesaiannya? Kalau diselesaikan seperti biasa, tanpa menghiraukan semestanya akan diperoleh hasil x = 2,5. Tetapi kalu suda ditentukan bahwa semestanya bilangan bulat maka jawab x = 2,5 adalah salah atau bukan jawaban yang dikehendaki. Jadi jawaban yang sesuai dengan semestanya adalah “tidak ada jawabannya” atau penyelesaiannya tidak ada. Sering dikatakan bahwa himpunan penyelesaiannya adalah “himpunan kosong”.
F.     Konsisten dalam sistemnya
Dalam matematika terdapat banyak sistem. Ada sistem yang mempunyai kaitan satu sama lain, tetapi juga ada sistem yang dapat dipandang terlepas satu sama lain. Misal sistem-sistem aljabar, sistem-sistem geometri. Sistem aljabar dan sistem geometri tersebut dapat dipandang terlepas satu sama lain, tetapi dalam sistem aljabar sendiri terdapat beberapa sistem yang lebih “kecil” yang terkait satu sama lain. Demikian juga dalam sistem geometri, terdapat beberapa sistem yang “kecil” yang berkaitan satu sama lain.
Suatu teorema ataupun suatu definisi harus menggunakan istilah atau konsedp yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Konsistensi itu baik dalam makna maupun dalam hal nilai kebenarannya. Kalau telah ditetapkan atau disepakati bahwa a + b = x dan x + y = p, maka a + b + y haruslah sama dengan p.

Hakikat Pembelajaran Matematika
Mengetahui matematika adalah melakukan matematika. Dalam belajar matematika perlu untuk menciptakan situasi-situasi di mana siswa dapat aktif, kreatif dan responsif secara fisik pada sekitar. Untuk belajar matematika siswa harus membangunnya untuk diri mereka. hanya dapat dilakukan dengan eksplorasi, membenarkan, menggambarkan, mendiskusikan, menguraikan, menyelidiki, dan pemecahan masalah (Countryman, 1992: 2). Selanjutnya Goldin (Sri Wardhani, 2004: 6) matematika dan dibangun oleh manusia, sehingga dalam pembelajaran matematika, pengetahuan matematika harus dibangun oleh siswa. Pembelajaran matematika menjadi lebih efektif jika guru memfasilitasi siswa menemukan dan memecahkan masalah dengan menerapkan pembelajaran bermakna.
Dalam pembelajaran matematika, konsep yang akan dikonstruksi siswa sebaiknya dikaitkan dengan konteks nyata yang dikenal siswa dan konsep yang dikonstruksi siswa ditemukan sendiri oleh siswa. Menurut Freudental (Gravemeijer, 1994: 20) matematika merupakan aktivitas insani (human activities) dan pembelajaran matematika merupakan proses penemuan kembali. Ditambahkan oleh de Lange (Sutarto Hadi, 2005: 19) proses penemuan kembali tersebut harus dikembangkan melalui penjelajahan berbagai persoalan dunia real. Masalah konteks nyata (Gravemeijer,1994: 123) merupakan bagian inti dan dijadikan starting point dalam pembelajaran matematika. Konstruksi pengetahuan matematika oleh siswa dengan memperhatikan konteks itu berlangsung dalam proses yang oleh Freudenthal dinamakan reinvensi terbimbing (guided reinvention).
Pembelajaran matematika sebaik dimulai dari masalah yang kontekstual. Sutarto Hadi (2006: 10) menyatakan bahwa masalah kontekstual dapat digali dari: (1) situasi personal siswa, yaitu yang berkenaan dengan kehidupan sehari-hari siswa, (2) situasi sekolah/akademik, yaitu berkaitan dengan kehidupan akademik di sekolah dan kegiatan-kegiatan dalam proses pembelajaran siswa, (3) situasi masyarakat, yaitu yang berkaitan dengan kehidupan dan aktivitas masyarakat sekitar siswa tinggal, dan (4) situasi saintifik/matematik, yaitu yang berkenaan dengan sains atau matematika itu sendiri.
Terkait dengan aktivitas matematisasi dalam belajar matematika, Freudenthal (Van den Heuvel, 1996: 11) menyebutkan dua jenis matematisasi, yaitu matematisasi horizontal dan vertikal dengan penjelasan sebagai berikut “Horizontal mathematization involves going from the world of life into the world of symbol, while vertical mathematization means moving within the world of symbol”. Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa matematisasi horizontal meliputi proses transformasi masalah nyata/sehari-hari ke dalam bentuk simbol, sedangkan matematisasi vertikal merupakan proses yang terjadi dalam lingkup simbol matematika itu sendiri.
Gravemeijer (1994: 93) mengemukakan bahwa dalam proses matematisasi horizontal, siswa belajar mematematisasi masalah-masalah kontekstual. Pada mulanya siswa akan memecahkan masalah secara informal (menggunakan bahasa mereka sendiri). Kemudian setelah beberapa waktu dengan proses pemecahan masalah yang serupa (melalui simplifikasi dan formalisasi), siswa akan menggunakan bahasa yang lebih formal dan diakhiri dengan proses siswa akan menemukan suatu algoritma. Proses yang dilalui siswa sampai menemukan algoritma disebut matematisasi vertikal.
Menurut Sutarto Hadi (2005: 21) dalam matematisasi horizontal, siswa mulai dari masalah-masalah kontekstual mencoba menguraikan dengan bahasa dan simbol yang dibuat sendiri oleh siswa, kemudian menyelesaikan masalah kontekstual tersebut. Dalam proses ini, setiap siswa dapat menggunakan cara mereka sendiri yang mungkin berbeda dengan siswa yang lain, sedangkan dalam matematisasi vertikal, siswa juga mulai dari masalah-masalah kontekstual, tetapi dalam jangka panjang siswa dapat menyusun prosedur tertentu yang dapat digunakan untuk meyelesaiakan masalah-masalah sejenis secara langsung, tanpa menggunakan bantuan konteks. Contoh matematisasi horizontal adalah pengidentifikasian, perumusan, dan pemvisualisasian masalah dengan cara-cara yang berbeda oleh siswa. Contoh matematisasi vertikal adalah presentasi hubungan-hubungan dalam rumus, menghaluskan dan menyesuaikan model matematika, penggunaan model-model yang berbeda, perumusan model matematika dan penggeneralisasian.
Zulkardi (2006: 6) menyatakan pembelajaran seharusnya tidak diawali dengan sistem formal, melainkan diawali dengan fenomena di mana konsep tersebut muncul dalam kenyataan sebagai sumber formasi konsep. Menurut de Lange (1987: 2) proses pengembangan konsep-konsep dan ide-ide matematika berawal dari dunia nyata dan pada akhirnya merefleksikan hasil-hasil yang diperoleh dalam matematika kembali ke dunia nyata.
Berdasarkan uraian di atas maka secara umum Hakekat Pembelajaran Matematika sebagai berikut:
  • Matematika pelajaran tentang suatu pola/ susunan dan hubungan
  • Matematika adalah cara berfikir
  • Matematika adalah bahasa
  • Matematika adalah suatu alat
  • Matematika adalah suatu seni

Rabu, 14 Desember 2011

Teori Operant Conditioning Skinner



Teori operant conditioning disebut juga teori pengkondisian operan. Salah satu tokoh terkenal dalam pengembangan ini adalah Burrhus Federic Skinner. Seorang psikolog kelahiran Susquehanna, Pennsylvania 20 Maret 1904 dan wafat tahun 1990 dikarenakan penyakit Leukimia. Skinner berasal dari keluarga sederhana, Ibunya sebagai ibu rumah tangga dan Ayahnya seorang jaksa. Skinner mendapat gelar Sarjana Psikologi dan gelar Doktor dari Universitas Harvard.
1945, ia menjadi ketua fakultas psikologi di Universitas Indiana, tiga tahun kemudian beliau mengajar dan berkarir di Universitas Harvard hingga wafat. Disamping tertarik dengan psikologi, Skinner juga tertarik menjadi novelis, bahkan pergi ke Inggris untuk belajar menjadi penulis, dan sempat bekerja di Greenwich Village, New York. (M.Burger).
Operant Conditioning atau pengkondisian operan adalah suatu proses penguatan perilaku operan (penguatan positif atau negatif) yang dapat mengakibatkan perilaku tersebut dapat berulang kembali atau menghilang sesuai dengan keinginan. Teori ini diteliti Pavlov dan dikembangkan Skinner. Skinner berpendapat setiap suatu tindakan yang telah dibuat ada konsekuensinya, penghargaan untuk tindakan yang benar, hukuman untuk yang salah. Tindakan yang ingin mendapat penghargaan akan menjadi suatu kebiasaan, dan secara tidak disadari kebiasaan lama akan hilang.
Skinner membuat eksperimen sebagai berikut: Dalam laboratorium, Skinner memasukkan tikus yang telah dilaparkan dalam kotak yang disebut “Skinner box”, yang sudah dilengkapi dengan berbagai peralatan, yaitu tombol, alat memberi makanan, penampung makanan, lampu yang dapat diatur nyalanya, dan lantai yang dapat dialiri listrik. Karena dorongan lapar (hunger drive), tikus berusaha keluar untuk mencari makanan. Selama tikus bergerak kesana-kemari untuk keluar dari box, tidak sengaja ia menekan tombol, makanan keluar. Secara terjadwal diberikan makanan secara bertahap sesuai peningkatan perilaku yang ditunjukkan si tikus, proses ini disebut shaping. Berdasarkan berbagai percobaannya pada tikus dan burung merpati, Skinner menyatakan bahwa unsur terpenting dalam belajar adalah penguatan (reinforcement). Maksudnya adalah pengetahuan yang terbentuk melalui ikatan stimulu-respon akan semakin kuat bila diberi penguatan.
Skinner membagi penguatan ini menjadi dua, yaitu penguatan positif. Penguatan positif sebagai stimulus, dapat meningkatkan terjadinya pengulangan tingkah laku itu sedangkan penguatan negatif dapat mengakibatkan perilaku berkurang atau menghilang.
Sebenarnya kedua penguat positif dan negatif adalah efektif, keduanya merubah kemungkinan terjadinya lagi perilaku. Tingkat keefektifannya sangat bergantung kepada kekonsistenan anda dalam mengikuti aturan-aturan penting yaitu; 1) Gunakanlah penguat negatif untuk menghentikan berlangsungnya perilaku yang tidak dikehendaki, 2) Gunakanlah penguat positif untuk meneruskan atau meningkatkan perilaku yang dikehendaki. Penerapan penguat positif akan mengembangkan kepatuhan dengan hasrat untuk menyenangkan, sedang penerapan penguat negatif akan mengembangkan kepatuhan karena takut hukuman. Kepatuhan akan selalu ada dalam setiap kasus tersebut, hanya motivasinya saja yang berbeda.
Konsep Teori Skinner
        Skinner bekerja dengan tiga asumsi dasar, dimana asumsi pertama dan kedua pada dasarnya menjadi asumsi psikologi pada umumnya, bahkan merupakan asumsi semua pendekatan ilmiah.
1.     Tingkah laku itu mengikuti hukum tertentu (behavior ofl awful).
Ilmu adalah usaha untuk menemukan keteraturan, menunjukkan bahwa peristiwa tertentu berhubungan secara teratur dengan peristiwa lain.
2.    Tingkah laku dapat diramalkan (behavior can be predicted).
Ilmu bukan hanya menjelaskan, tetapi juga meramalkan.Bukan hanya menangani peristiwa masa lalu tetapi juga peristiwa yang akan datang.Teori yang berdaya guna adalah yang memungkinkan dapat dilakukannya prediksi mengenai tingkah laku yang akan datang dan menguji prediksi itu.
3.    Tingkah laku dapat dikontrol (Behavior can be controlled).
Ilmu dapat melakukkan antisipasi dan menentukan/membentuk (sedikit-banyak) tingkah laku seseorang. Skinner bukan hanya ingin tahu bagaimana terjadinya tingkah laku, tetapi dia sangat berkeinginan untuk memanipulasinya. Pandangan ini bertentangan dengan pandangan tradisional yang menganggap manipulasi sebagai serangan terhadap kebebasan pribadi. Skinner memandang tingkah laku sebagai produk kondisi anteseden tertentu, sedangkan pandangan tradisional berpendapat tingkah laku merupakan produk perubahan dalam diri secara spontan.
Skinner membedakan perilaku atas :
1.    Perilaku Alami (innate behavior), yang kemudian disebut juga sebagai clasical ataupun respondent behavior, yaitu perilaku yang diharapkan timbul oleh stimulus yang jelas ataupun spesifik, perilaku yang bersifat refleksif.
2.    Perilaku Operan (operant behavior), yaitu perilaku yang ditimbulkan oleh stimulus yang tidak diketahui, namun semata-mata ditimbulkan oleh organisme itu sendiri setelah mendapatkan penguatan.

Beberapa Prinsip Belajar Skinner antara lain :
1.    Hasil belajar harus segera diberitahukan kepada siswa, jika salah dibetulkan dan jika benar diberi penguat.
2.    Proses belajar harus mengikuti irama dari yang belajar.
3.    Materi pelajaran digunakan sistem modul.
4.    Dalam proses pembelajaran lebih dipentingkan aktivitas sendiri.
5.    Dalam proses pembelajaran tidak digunakan hukuman.
6.    Tingkah laku yang diinginkan pendidik diberi hadiah dan sebagainya. Hadiah diberikan dengan digunakannya jadwal variable rasio reinforcer.
7.    Dalam pembelajaran digunakan shaping.
Prosedur Teori Skinner adalah sebagai berikut :
1.    Mempelajari keadaan kelas.
Guru mencari dan menemukan perilaku siswa yang positif atau negatif. Perilaku positif akan diperkuat dan perilaku negative akan dikurangi.
2.    Membuat daftar penguat positif.
Guru mencari perilaku yang lebih disukai oleh siswa. Perilaku yang kena hukuman dan kegiatan luar sekolah dapat dijadikan penguat.
3.    Memilih dan menentukan urutan tingkah laku serta jenis penguatannya.
4.    Membuat program pembelajaran.
Program pembelajaran ini berisi urutan perilaku yang dikehendaki, penguatan, waktu mempelajari perilaku dan ebaluasi. Dalam melaksanakan program pembelajaran, guru mencatat perilaku dan penguatan yang berhasil dan tidak berhasil.
Aplikasi Teori Skinner Terhadap Pembelajaran meliputi :
1.        Bahan yang dipelajari dianalisis sampai pada unit-unit secara organis.
2.        Tes lebih ditekankan untuk kepentingan diagnostic.
3.        Dalam pendidikan mengutamakan mengubah lingkungan untuk mengindari pelanggaran agar tidak menghukum.
4.        Tingkah laku yang diinginkan pendidik diberi hadiah.
5.        Tingkah laku yang diinginkan, dianalisis kecil-kecil, semakin meningkat mencapai tujuan.
6.        Dalam belajar mengajar menggunakan teaching machine.
7.        Melaksanakan mastery learning yaitu mempelajari bahan secara tuntas menurut waktunya masing-masing karena tiap anak berbeda-beda iramanya. Sehingga naik atau tamat sekolah dalam waktu yang berbeda-beda. Tugas guru berat, administrasi kompleks.
Kelebihan Dan Kekurangan Teori Skinner
a.    Kelebihan
Pada teori ini, pendidik diarahkan untuk menghargai setiap anak didiknya. Hal ini ditunjukkan dengan dihilangkannya sistem hukuman. Hal itu didukung dengan adanya pembentukan lingkungan yang baik sehingga dimungkinkan akan meminimalkan terjadinya kesalahan.
b.   Kekurangan
Tanpa adanya sistem hukuman akan dimungkinkan akan dapat membuat anak didik menjadi kurang mengerti tentang sebuah kedisiplinan. Hal tersebuat akan menyulitkan lancarnya kegiatan belajar-mengajar. Dengan melaksanakan mastery learning, tugas guru akan menjadi semakin berat.
Beberapa Kekeliruan dalam penerapan teori Skinner adalah penggunaan hukuman sebagai salah satu cara untuk mendisiplinkan siswa. Menurut Skinner hukuman yang baik adalah anak merasakan sendiri konsekuensi dari perbuatannya. Misalnya anak perlu mengalami sendiri kesalahan dan merasakan akibat dari kesalahan. Penggunaan hukuman verbal maupun fisik seperti: kata-kata kasar, ejekan, cubitan, jeweran justru berakibat buruk pada siswa.
Selain itu kesalahan dalam reinforcement positif juga terjadi didalam situasi pendidikan seperti penggunaan rangking Juara di kelas yang mengharuskan anak menguasai semua mata pelajaran. Sebaliknya setiap anak diberi penguatan sesuai dengan kemampuan yang diperlihatkan sehingga dalam satu kelas terdapat banyak penghargaan sesuai dengan prestasi yang ditunjukkan para siswa: misalnya penghargaan di bidang bahasa, matematika, fisika, menyanyi, menari atau olahraga.
Alternatif Penerapan Teori Operant Conditioning Skinner Dalam Pembelajaran Matematika   :
Pelajaran metematika sangat ditakuti oleh sebagian besar siswa/i dikarenakan oleh beberapa factor.
- penyajian materi tidak efisien oleh pendidik
- tingkat kesulitannya tinggi.
- ketakutan dan ketidaksukaan siswa/i terhadap pendidik.
Jika Teori Operant Conditioning Skinner kita terapkan pada kasus diatas dimana dalam penyajian materi haruslah memperhatikan prinsip belajar skinner. Disamping itu juga soal yang diberikan haruslah sesuai dengan kemampuan siswa dalam artian boleh memberikan soal yang sulit namun diberikan rentang waktu untuk mnyelesaiankan soal tersebut (Pr/tugas kelompok), kemudian  diberikan penguat positif misalnya meberikan hadiah.




DAFTAR PUSTAKA
http://rismarnawati.wordpress.com/2008/11/03/teori-operant-conditioning/
http://www.slideshare.net/yayatore/teori-belajar
http://www.psb-psma.org/content/blog/teori-teori-belajar
http://www.masbied.com/2010/06/05/ilmu-jiwa-belajar/#more-3073
http://hibrul.blogspot.com/2009/06/penggunaan-teknik-pengondisian-operan.html

Geometri Dan Teori Van Hiele



Pendahuluan
Pembelajaran geometri merupakan hal yang sangat penting karena sangat mendukung banyak topik lain, seperti vektor, kalkulus, dan mampu mengembangkan kemampuan memecahkan masalah. Suydam (dalam Clements & Battista, 1992:421) menyatakan bahwa tujuan pembelajaran geometri adalah (1) mengembangkan kemampuan berpikir logis, (2) mengembangkan intuisi spasial mengenai dunia nyata, (3) menanamkan pengetahuan yang dibutuhkan untuk matematika lanjut, dan (4) mengajarkan cara membaca dan menginterpretasikan argumen matematika. Bukti-bukti di lapangan menunjukkan bahwa hasil belajar geometri masih rendah dan perlu ditingkatkan.
Bahkan di antara berbagai cabang matematika geometri menempati posisi yang paling memprihatinkan. Kesulitan siswa dalam  memahami konsep-konsep geometri terutama pada konsep bangun ruang, serta kemampuan dalam melihat rang dimensi tiga masih rendah. Untuk mengatasi kesulitan-kesulitan dalam belajar geometri dapat digunakan penerapan teori van Hiele.
 Teori Van Hiele dikembangkan oleh dua pendidik matematika berkebangsaan Belanda, Pierre Marie van Hiele dan Dina van Hiele yang telah mengadakan penelitian di lapangan, melalui observasi dan tanya jawab, kemudian hasil penelitiannya ditulis dalam disertasinya pada tahun 1950-an, telah diakui secara internasional dan memberikan pengaruh yang kuat dalam pembelajaran geometri sekolah. Uni Soviet dan Amerika Serikat adalah contoh negara yang telah mengubah kurikulum geometri berdasar pada teori van Hiele. Pada tahun 1960-an, Uni Soviet telah melakukan perubahan kurikulum karena pengaruh teori van Hiele. Sedangkan di Amerika Serikat pengaruh teori van Hiele mulai terasa sekitar permulaan tahun 1970-an. Sejak tahun 1980-an, penelitian yang memusatkan pada teori van Hiele terus meningkat. Beberapa penelitian yang telah dilakukan membuktikan bahwa penerapan teori van Hiele memberikan dampak yang positif dalam pembelajaran geometri. Terdapat 5 tahap pemahaman geometri yaitu: Tahap pengenalan (visualisasi), analisis, pengurutan (deduksi informal), deduksi, dan keakuratan (rigor).
Lima Tahap Pemahaman Geometri
1. Tahap Pengenalan (visualisasi)
Pada tahap ini siswa hanya baru mengenal bangun-bangun geometri seperti bola, kubus, segitiga, persegi dan bangun-bangun geometri lainnya. Seandainya kita hadapkan dengan sejumlah bangun-bangun geornetri, siswa dapat memilih dan menunjukkan bentuk segitiga. Pada tahap pengenalan siswa belum dapat menyebutkan sifat-sifat dari bangun-bangun geometri yang dikenalnya sifat-sifat dari bangun-bangun geometri yang dikenalnya itu. Sehingga bila kita ajukan pertanyaan seperti "apakah pada sebuah persegipanjang, sisi-sisi yang berhadapan panjangnya sama?", "apakah pada suatu persegipanjang kedua diagonalnya sama panjang?". Untuk hal ini, siswa tidak akan bisa menjawabnya. Guru harus memahami betul karakter siswa pada tahap pengenalan, jangan sampai, siswa diajarkan sifat-sifat bangun-bangun geometri tersebut, karena siswa akan menerimanya melalui hafalan bukan dengan pengertian.
2. Tahap Analisis
Bila pada tahap pengenalan siswa belum mengenal sifat-sifat dari bangun-bangun geometri, tidak demikian pada tahap Analisis. Pada tahap ini siswa sudah dapat memahami sifat-sifat dari bangun-bangun geometri. Pada tahap ini siswa sudah mengenal sifat-sifat bangun geometri, seperti pada sebuah kubus banyak sisinya ada 6 buah, sedangkan banyak rusuknya ada 12. Seandainya kita tanyakan apakah kubus itu balok?, maka siawa pada tahap ini belum bisa menjawab pertanyaan tersebut karena siawa pada tahap ini belum memahami hubungan antara balok dan kubus. Siswa pada tahap analisis belum mampu mengetahui hubungan yang terkait antara suatu bangun geometri dengan bangun geometri lainnya.
3. Tahap Pengurutan ( Deduksi Informal )
Pada tahap ini pemahaman siswa terhadap geometri lebih meningkat lagi dari sebelumnya yang hanya mengenal bangun-bangun geometri beserta sifat-sifatnya, maka pada tahap ini siswa sudah mampu mengetahui hubungan yang terkait antara suatu bangun geometri dengan bangun geometri lainnya. Siswa yang berada pada tahap ini sudah memahami pengurutan bangun-bangun geometri. Misalnya, siswa sudah mengetahui jajargenjang itu trapesium, belah ketupat adalah layang-layang, kubus itu adalah balok. Pada tahap ini siswa sudah mulai mampu untuk melakukan penarikan kesimpulan secara deduktif, tetapi masih pada tahap awal artinya belum berkembang baik. Karena masih pada tahap awal siswa masih belum mampu memberikan alasan yang rinci ketika ditanya mengapa kedua diagonal persegi panjang itu sama, mengapa kedua diagonal pada persegi saling tegak lurus.
4. Tahap Deduksi
Pada tahap ini siswa sudah dapat memahami deduksi, yaitu mengambil kesimpulan secara deduktif. Pengambilan kesimpulan secara deduktif yaitu penarikan kesimpulan dari hal-hal yang bersifat khusus. Seperti kita ketahui bahwa matematika adalah ilmu deduktif. Matematika, dikatakan sebagai ilmu deduktif karena pengambilan kesimpulan, membuktikan teorema dan lain-lain dilakukan dengan cara deduktif. Sebagai contoh untuk menunjukkan bahwa jumlah sudut-sudut dalam jajargenjang adalah 360o secara deduktif dibuktikan dengan menggunakan prinsip kesejajaran. Pembuktian secara induktif yaitu dengan memotong-motong sudut-sudut benda jajargenjang, kemudian setelah itu ditunjukkan semua sudutnya membentuk sudut satu putaran penuh atau 360° belum tuntas dan belum tentu tepat. Seperti diketahui bahwa pengukuran itu pada dasarnya mencari nilai yang paling dekat dengan ukuran yang sebenarnya. Jadi, mungkin saja dapat keliru dalam mengukur sudut-sudut jajargenjang tersebut. Untuk itu pembuktian secara deduktif merupakan cara yang tepat dalam pembuktian pada matematika.
Siswa pada tahap ini telah mengerti pentingnya peranan unsur-unsur yang tidak didefinisikan, di samping unsur-unsur yang didefinisikan, aksioma atau problem, dan teorema. Siswa pada tahap ini belum memahami kegunaan dari suatu sistem deduktif. Oleh karena itu, siswa pada tahap ini belum dapat menjawab pertanyaan “mengapa sesuatu itu disajikan teorema atau dalil.”
5.  Tahap Rigor
Tahap terakhir dari perkembangan kognitif siswa dalam memahami geometri adalah tahap keakuratan. Pada tahap ini siswa sudah memahami betapa pentingnya ketepatan dari prinsip-prinsip dasar yang melandasi suatu pembuktian. Pada tahap ini siswa sudah memahami mengapa sesuatu itu dijadikan postulat atau dalil. Dalam matematika kita tahu bahwa betapa pentingnya suatu sistem deduktif. Tahap keakuratan merupakan tahap tertinggi dalam memahami geometri. Pada tahap ini memerlukan tahap berpikir yang kompleks dan rumit. Oleh karena itu, jarang atau hanya sedikit sekali siswa yang sampai pada tahap berpikir ini sekalipun siswa tersebut sudah berada di tingkat SMA.

Terdapat beberapa karakter dalam pembelajaran Van Hiele, yaitu sebagai berikut :
*             Rangkaian urutan (sequentiqal)
Dengan memperhatikan tingkatan berfikir geometri siswa yang harus maju dari satu tingkatan ke tingkatan berikutnya, maka para pengajar dapat menyusun langkah pembelajaran sesuai dengan tingkat berfikir geometri siswa.
*             Pengembangan (Advancement)
Kemajuan tingkat berfikir geometri siswa dari satu tingkatan ke tingkatan berikutnya sangat tergantung pada hasil pembelajaran dengan lima tahap pembelajaran Van Hiele, bukan berantung pada usia. Tidak ada metode pembelajaran yang memperbolehkan siswa untuk melompati tingkatan berikutnya tanpa melalui tingkatan sebelumnya.
*             Unsur Intrinsik dan Ekstrensik (Intrinsic and Extrinsic)
Objek dan sifat-sifatnya yang dipahami pada satu tingkatan menjadi objek pada tingkatan berikutnya. Pada tingkat visualisasi hanya sosok bentuk yang dipahami, namun komponen dan sifat-sifatnya dipelajari pada tingkat berikutnya. 
*             Kebahasaan (Linguistics)
Setiap tingkat berfikir geometri memiliki lambang dan bahasa masing-masing, mempunyai sistem hubungan antar lambang itu. Hubungan yang benar pada satu tingkat, mungkin dimodiikasi pada tingkat yang lain.
*             Ketidaksepadanan (Mismatch)
Jika siswa berada pada satu tingkatan berikir geometri tertentu, dan pembelajaran pada tingkat yang lain, mungkin minat dan kemajuan belajar tidak akan terjadi. Secara khusus, terutama jika guru, bahan ajar, kosa kata dll berada pada tingkat yang lebih tinggi dari pembelajaran, siswa tidak ddapat mengikuti proses berpikir yang digunakan.

Setiap tahap dalam teori van Hiele, menunjukkan karakteristik proses berpikir siswa dalam geometri dan pemahamannya dalam konteks geometri. Kualitas pengetahuan siswa tidak ditentukan oleh akumulasi pengetahuannya, tetapi lebih ditentukan oleh proses berpikir yang digunakan.
Tahap-tahap berpikir van Hiele akan dilalui siswa secara berurutan (Keyes, 1997 dan Anne, 1999). Dengan demikian siswa harus melewati suatu tahap dengan matang sebelum menuju tahap berikutnya. Kecepatan berpindah dari suatu tahap ke tahap berikutnya lebih banyak bergantung pada isi dan metode pembelajaran daripada umur dan kematangan biologis (Crowley, 1987:4). Dengan demikian, guru harus menyediakan pengalaman belajar yang cocok dengan tahap berpikir siswa.

Model Pembelajaran van Hiele
Pembelajaran geometri hanya akan efektif apabila sesuai dengan struktur kemampuan berpikir siswa. Hasil belajar dapat diperoleh melalui lima fase yang sekaligus sebagai tujuan pembelajaran (Crowley, 1987:5-6). Selanjutnya lima fase pembelajaran tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
Fase 1 (Inkuiri/Informasi)
Dengan tanya jawab antara guru dengan siswa, disampaikan konsep-konsep awal tentang materi yang akan dipelajari. Guru mengajukan informasi baru dalam setiap pertanyaan yang dirancang secermat mungkin agar siswa dapat menyatakan kaitan konsep-konsep awal dengan materi yang akan dipelajari. Bentuk pertanyaan diarahkan pada konsep yang telah dimiliki siswa, misalnya Apa itu garis yang sejajar? Apa itu garis yang sama panjang?Apa itu sudut yang sehadap, sepihak, dan bersebrangan? Apa itu segiempat? dan seterusnya.
Informasi dari tanya jawab tersebut memberikan masukan bagi guru untuk menggali tentang perbendaharaan bahasa dan interpretasi atas konsepsi-konsepsi awal siswa untuk memberikan materi selanjutnya, dipihak siswa, siswa mempunyai gambaran tentang arah belajar selanjutnya.
Fase 2 (Orientasi Berarah)
Sebagai refleksi dari fase 1, siswa meneliti materi pelajaran melalui bahan ajar yang dirancang guru. Guru mengarahkan siswa untuk meneliti objek-objek yang dipelajari. Kegiatan mengarahkan merupakan rangkaian tugas singkat untuk memperoleh respon-respon khusus siswa. Misalnya, guru meminta siswa mengamati gambar yang ditunjukkan berupa macam-macam segiempat.
Siswa diminta mengelompokkan jenis segiempat, sesuai dengan jenisnya, setelah itu menjiplak dan menggambarkan macam-macam segiempat dengan berbagai ukuran yang ditentukan sendiri pada kertas dengan mengunakan media alat tulis. Kemudian menempelkan pada buku masing-masing. Aktivitas belajar ini bertujuan untuk memotivasi siswa agar aktif mengeksplorasi objek-objek (sifat-sifat bangun yang dipelajari) melalui kegiatan seperti mengukur sudut, melipat, menentukan panjang sisi untuk menemukan hubungan sifat-sifat dari bentuk bangun-bangun tersebut. Fase ini juga bertujuan untuk mengarahkan dan membimbing eksplorasi siswa sehingga menemukan konsep-konsep khusus dari bangun-bangun geometri.
Fase 3 (Uraian)
Pada fase ini, siswa diberi motivasi untuk mengemukakan pengalamannya tentang struktur bangun yang diamati dengan menggunakan bahasanya sendiri. Sejauh mana pengalamannya bisa diungkapkan, mengekspresikan dan merubah atau menghapus pengetahuan intuitif siswa yang tidak sesuai dengan struktur bangun yang diamati.
Pada fase pembalajaran ini, guru membawa objek-objek (ide-ide geometri, hubungan-hubungan, pola-pola dan sebagainya) ke tahap pemahaman melalui diskusi antar siswa dalam menggunakan ketepatan bahasa dengan menyatakan sifat-sifat yang dimiliki oleh bangun-bangun yang dipelajari.
Fase 4 (Orientasi Bebas)
Pada fase ini siswa dihadapkan dengan tugas-tugas yang lebih kompleks. Siswa ditantang dengan situasi masalah kompleks. Siswa diarahkan untuk belajar memecahkan masalah dengan cara siswa sendiri, sehingga siswa akan semakin jelas melihat hubungan-hubungan antar sifat-sifat suatu bangun. Jadi siswa ditantang untuk mengelaborasi sintesis dari penggunaan konsep-konsep dan relasi-relasi yang telah dipahami sebelumnya.
Fase pembelajaran ini bertujuan agar siswa memperoleh pengalaman menyelesaikan masalah dan menggunakan strategi-strateginya sendiri. Peran guru adalah memilih materi dan masalah-masalah yang sesuai untuk mendapatkan pembelajaran yang meningkatkan perolehan berbagai performansi siswa.
Fase 5 (Integrasi)
Pada fase ini, guru merancang pembelajaran agar siswa membuat ringkasan tentang kegiatan yang sudah dipelajari (pengamatan-pengamatan, membuat sintesis dari konsep-konsep dan hubungan-hubungan baru). Tujuan kegiatan belajar fase ini adalah menginterpretasikan pengetahuan dari apa yang telah diamati dan didiskusikan. Peran guru adalah membantu pengiterpretasian pengetahuan siswa dengan meminta siswa membuat refleksi dan mengklarifikasi pengetahuan geometri siswa, serta menguatkan tekanan pada penggunaan struktur matematika.

Penerapan Teori Van Hiele dalam Pembelajaran Geometri
Tingkat berpikir siswa dalam belajar geometri menurut teori van Hiele banyak bergantung pada isi dan metode pembelajaran. Oleh sebab itu, perlu disediakan aktivitas-aktivitas yang sesuai dengan tingkat berpikir siswa. Siswa SMP pada umumnya sudah sampai pada tahap berpikir deduksi informal. Hal ini sesuai dengan pendapat van de Walle (1990:270) yang menyatakan bahwa sebagian besar siswa SMP berada pada antara tahap visualisasi sampai tahap deduksi informal.
Berikut ini dijelaskan aktivitas-aktivitas yang dapat digunakan untuk tiga tahap pertama yaitu tahap visualisasi, tahap analisis, dan tahap deduksi informal (Van de Walle, 1990:270).
1.   Aktivitas tahap visualisasi
Aktivitas siswa pada tahap ini antara lain:
*        Melibatkan penggunaan model fisik yang dapat digunakan untuk memanipulasi.
*        Melibatkan berbagai contoh bangun-bangun yang bervariasi dan berbeda sehingga sifat yang tidak relevan dapat diabaikan.
*        Melibatkan kegiatan memilih, mengidentifikasi dan mendeskripsikan berbagai bangun, dan
*        Menyediakan kesempatan untuk membentuk, membuat, menggambar, menyusun atau menggunting bangun.

2.   Aktivitas tahap analisis
Aktivitas siswa pada tahap ini antara lain:
*        Menggunakan model-model pada tahap 0, terutama model-model yang dapat digunakan untuk mendeskripsikan berbagai sifat bangun.
*        Mulai lebih menfokuskan pada sifat-sifat dari pada sekedar identifikasi.
*        Mengklasifikasi bangun berdasar sifat-sifatnya berdasarkan nama bangun tersebut.
*        Menggunakan pemecahan masalah yang melibatkan sifat-sifat bangun.
3.   Aktivitas tahap deduksi informal
Aktivitas siswa pada tahap ini antara lain:
*        Melanjutkan pengklasifikasian model dengan fokus pada pendefinisian sifat, membuat daftar sifat dan mendiskusikan sifat yang perlu dan cukup untuk kondisi suatu bangun atau konsep.
*        Memuat penggunaan bahasa yang bersifat deduktif informal, misalnya semua, suatu, dan jika – maka, serta mengamati validitas konversi suatu relasi.
*        Menggunakan model dan gambar sebagai sarana untuk berpikir dan mulai mencari generalisasi atau kontra contoh.

Berikut ini adalah contoh materi segiempat berdasarkan model pembelajaran van Hiele
Sebagai upaya membantu siswa Sekolah Menengah Pertama untuk memahami konsep segiempat maka pada uraian berikut akan disajikan aktivitas-aktivitas pembelajaran yang sesuai dengan tahap berpikir van Hiele. Pemilihan aktivitas ini disesuaikan dengan aktivitas-aktivitas yang dijelaskan Van de Walle (1990:270). Dalam aktivitas pembelajaran ini disediakan berbagai media antara lain gambar bangun segiempat dan LKS (Lembar Kerja Siswa) yang terdiri dari LKS 1, dan LKS 2.
Dalam pembelajaran akan digunakan gambar-gambar bangun segiempat. Penggunaan gambar segiempat tersebut dimaksudkan untuk membantu siswa dalam melakukan kegiatan menyelesaikan LKS 1. Setiap kelompok, masing-masing siswa mendapat media pembelajaran berupa LKS dan gambar segiempat. Hal ini dimaksudkan agar siswa dapat berdiskusi dan saling kerja sama.
LKS 1 memuat informasi berupa gambar-gambar, pertanyaan dan perintah yang difokuskan pada pemberian nama suatu benda serta memberikan alasan mengapa benda itu diberi nama demikian? yang diorientasikan agar siswa yang mencapai tahap analisis. Apabila siswa dapat menjawab dengan benar semua pertanyaan yang diberikan maka berarti tahap berpikir siswa telah berada pada tahap analisis. Untuk LKS 2, memuat informasi, pertanyaan dan perintah yang diorientasikan pada kemampuan siswa untuk menentukan sifat-sifat yang paling utama dari gambar-gambar yang ada pada LKS 1, membuat pernyataan sederhana dengan menggunakan kalimat “jika-maka” yang akhirnya siswa diharapkan dapat membuat definisi. Apabila siswa dapat menjawab semua pertanyaan yang ada pada LKS 2 ini, maka berarti tahap berpikir siswa telah berada pada tahap deduksi informal.
Dari uraian di atas, maka lebih rinci aktivitas pembelajaran berdasar tahap berpikir van Hiele mulai tahap analisis sampai tahap deduksi informal akan dijelaskan sebagai berikut.
1. Aktivitas Tahap analisis
Pada tahap analisis ini, melalui LKS dan alat peraga yang disediakan siswa diminta untuk menggunakan model-model pada LKS 1. Berdasarkan pengelompokan yang dibuat, siswa mulai mengeksplorasi berbagai sifat-sifat dari pada sekedar identifikasi. Selanjutnya siswa mulai mencari sifat-sifat dan memberi argumen mengapa suatu kelompok gambar tersebut termasuk kelompok segiempat, jajargenjang, belahketupat, persegipanjang, persegi, layang-layang dan trapesium. Selain itu, siswa membandingkan masing-masing kelompok menurut sifat-sifat yang siswa temukan. Dengan demikian, sifat-sifat dapat mencirikan dan mengkontraskan masing-masing kelompok.
Selanjutnya guru diharapkan dapat memberikan beberapa contoh gambar lagi dan menanyakan contoh gambar tersebut termasuk kelompok mana dan mengapa termasuk ke dalam kelompok tersebut. Selain itu, siswa juga diminta menjelaskan secara verbal alasan tersebut. Pada tahap 2 ini, guru juga dapat memberikan masalah dalam bentuk verbal dan siswa diminta untuk mengidentifikasi soal yang diberikan pada LKS 1. Masalah yang diajukan hendaknya melibatkan sifat-sifat yang ditemukan oleh siswa pada.
Jika siswa sudah dapat menemukan sifat-sifat segiempat, jajargenjang, belahketupat, persegipanjang, persegi, layang-layang dan trapesium serta dapat menyelesaikan masalah yang melibatkan sifat-sifat bangun segiempat secara lisan maupun tulisan, berarti tahap berpikir siswa sudah berada pada tahap 1 (analisis). Hal ini sesuai dengan pendapat Crowley (1987:8) bahwa pada tahap 1 siswa sudah dapat mengidentifikasi sifat-sifat meskipun belum dapat mengkaitkan antara sifat-sifat tersebut dan belum dapat memahami definisi.
2. Aktivitas Tahap 2 (deduksi informal)
Pada tahap 2 ini, siswa melanjutkan pengklasifikasian gambar atau model yang terdapat pada LKS 1. Pada tahap ini, siswa diminta mengerjakan dan mendiskusikan LKS 2 tanpa bantuan alat peraga dengan fokus pada pendefinisian sifat-sifat. Siswa diarahkan dapat membuat daftar sifat-sifat yang ditemukan untuk masing-masing kelompok gambar. Selanjutnya siswa mendiskusikan sifat yang perlu dan cukup untuk kondisi suatu bangun atau benda yang kemudian disebut konsep. Melalui LKS yang diberikan, siswa diarahkan pada penemuan sifat yang perlu dan cukup agar sebuah segiempat dikatakan sebagai jajargenjang, belahketupat, persegipanjang, persegi, trapesium dan layang-layang. selanjutnya siswa diarahkan menggunakan bahasa yang bersifat deduksi informal, misalnya “jika-maka” serta mengamati validitas konvers suatu relasi dengan menggunakan model atau contoh kontra.
Pada tahap 2 ini, guru mulai mengarahkan siswa untuk membuat definisi abstrak tentang segiempat, jajargenjang, belahketupat, persegipanjang, persegi, trapesium dan layang-layang. Disamping itu, guru mengamati apakah definisi yang dibuat siswa sudah bersifat umum. Kemudian sesuai dengan definisi yang dibuat siswa, guru dapat memberikan masalah berupa generalisasi atau memberikan contoh kontra untuk melihat kebenaran definisi yang dibuat siswa. Jika siswa sudah dapat membuat definisi abstrak dengan tepat atau siswa sudah dapat menyelesaikan LKS 2 dengan benar, berarti tahap berpikir siswa sudah berada pada tahap 2 (deduksi informal). Hal ini sesuai dengan pendapat Crowley (1987:8) yang mengatakan bahwa pada tahap 2 ini, siswa mampu mempelajari keterkaitan sifat-sifat dan bangun yang dibentuk, membuat implikasi, menyajikan argumen informal dan membuat serta menggunakan definisi.

Kelemahan Teori Van Hiele
1.      Seorang siswa tidak dapat berjalan lancar pada suatu tingkat dalam pembelajaran yang diberikan tanpa penguasaan konsep pada tingkat sebelumnya yang memungkinkan siswa untuk berpikir secara intuitif di setiap tingkat terdahulu.
2.      Apabila tingkat pemikiran  siswa lebih rendah dari bahasa pengajarannya, maka ia tidak akan memahami pengajaran tersebut.

Kelebihan Teori Van Hiele
1.      Kemampuan pemahaman belajar siswa lebih baik.
2.      Kemampuan komunikasi matematika siswa lebih baik.
3.      Bersifat instrinsik dan ekstrinsik, yakni obyek yang masih kurang jelas akan menjadi obyek yang jelas pada tahap berikutnya.
     Download File PDF silahkanKlik Disini