Rabu, 30 November 2011

Teori Thorndike



Pendahuluan
Teori belajar behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Teori ini lalu berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran behavioristik. Timbulnya aliran ini disebabkan rasa tidak puas terhadap teori psikologi daya dan teori mental state. Sebabnya karena aliran-aliran terdahulu hanya menekankan pada segi kesadaran saja.
Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Dalam arti luas golongan behaviorisme mencakup semua teori S-R Bond atau konektionisme dan neobehaviorisme (Sudjana, 1991 : 22). Dengan memberikan rangsangan (stimulus), maka anak akan mereaksi dengan respons. Hubungan situmulus -  respons ini akan menimbulkan kebiasaan-kebiasaan otomatis pada belajar, jadi pada dasamya kelakuan anak adalah terdiri atas respons-respons tertentu terhadap stimulus-stimulus tertentu. Dengan latihan pembentukan maka hubungan-hubungan itu akan semakin menjadi kuat. Inilah yang disebut S -R Bond Theory. Aliran tingkah laku (behaviorisme) menenjukkan bahwa studi tentang belajar itu harus berdasarkan kepada pengamatan tingkah laku manusia yang nampak, sebab menurut teori ini manusia itu adalah  organisme pasif yang bisa dikontrol, dan tingkah laku manusia itu bisa dibentuk melalui ganjaran dan hukuman. Beberapa prinsip dalam teori belajar behavioristik, meliputi: (1) Reinforcement and Punishment; (2) Primary and Secondary Reinforcement; (3) Schedules of Reinforcement; (4) Contingency Management; (5) Stimulus Control in Operant Learning; (6) The Elimination of Responses (Gage, Berliner, 1984). Tokoh-tokoh aliran behavioristik di antaranya adalah Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner.
Makalah ini pada prinsipnya merupakan pembahasan singkat dari teori belajar behavioristik dan salah satu tokoh yang mengikuti aliran ini beserta aplikasinya dalam kegiatan pendidikan dan pengajaran. Tokoh dari aliran tingkah laku ini salah satunya adalah Thorndike.
A. Biografi Thorndike
Edward L. Thorndike (1874 – 1949) dilahirkan di Williamsburg, Massachusetts tahun 1874. Thorndike berprofesi sebagai seorang pendidik dan psikolog yang berkebangsaan Amerika. Lulus S1 dari Universitas Wesleyen tahun 1895, S2 dari Harvard tahun 1896 dan meraih gelar doktor di Columbia tahun 1898. Buku-buku yang ditulisnya antara lain Educational Psychology (1903), Mental and social Measurements (1904), Animal Intelligence (1911), Ateacher’s Word Book (1921),Your City (1939), dan Human Nature and The Social Order (1940).
B. Teori Thorndike dalam Belajar
Hasil Eksperimen Thorndike dikenal sebagai teori belajar koneksionisme (Muhibbin Syah, 2000 : 105). Dalam membuktikan teorinya thorndike melakukan percobaan terhadap seekor kucing yang lapar dan kucing itu ditaruh dalam kandang, yang mana kandang tersebut terdapat celah-celah yang kecil sehingga seekor kucing itu bisa melihat makakanan yang berada diluar kandang dan kandang itu bisa terbuka dengan sendiri apabila seekor kucing tadi menyentuh salah satu jeruji yang terdapat dalam kandang tersebut. mula-mula kucing tersebut mengitari kandang bebarapa kali sampai ia menemukan jeruji yang bisa membuka pintu kandang kucing ini melakuakn respon atu tindakan dengan cara coba-coba ia tidak maengetahui jalan keluar dari kandang tersebut, kucing tadi melakukan respon yang sebanyak-banyaknya sehingga menemukan tindakan yang cocok dalam situasi baru atau stimulus yang ada. Thrndike melakukan percobaan ini berkali-kali pada kucing yang sama dan situasi yang sama pula. Memang pertama kali kucing tersebut, dalam menemuka jalan keluar membutuhkan waktu yang lama dan pastinya mengitari kandang dengan jumblah yang banyak pula, akan tetapi karena sifat dari setiap organisme itu selalu memegang tindakan yang cocok dalam menghadapi situasi atau stimulus yang ada, maka kucing tadi dalam menemukan jeruji yang menyebabkan kucing tadi bisa keluar dari kandang ia pegang tindakan ini sehingga kucing tadi dalam keluar untuk mendaptkan makanan tidak lagi perlu mengitari kandang karena tindakan ini dirasa tidak cocok, akan tetapi kucing tadi langsung memegang jeruji yang menyebabkannya bisa keluar untuk makan.
Teori ini mengemukakan bahwa belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Menurut teori ini yang terpenting adalah masukan atau input yang berupa stimulus dan keluaran atau output yang berupa respons. Stimulus yaitu apa saja yang dapat merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal – hal yang dapat ditangkap melalui alat indera. Stimulus dalam pembelajaran adalah apa saja yang diberikan guru kepada siswa, misalnya cara belajar, mengerjakan sesuatu, materi dan lain-lainnya. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan siswa ketika belajar, yang juga dapat berupa pikiran, persaan atau gerakan (tindakan).
Oleh karena itu, teori ini juga disebut “S-R Bond Theory” dan “S-R Psychology of Learning”. Dari definisi belajar tersebut maka menurut Thorndike perubahan atau tingkah laku akibat kegitan belajar itu dapat berwujud kongkrit yaitu dapat diamati. Teori belajar stimulus respon yang dikemukakan oleh Thorndike ini disebut juga  Koneksionisme.
 Menurut Thorndike (Dalam Bambangriyanto: 2009) di katakan bahwa dalam proses belajar, pertama kali organisme (Hewan, Orang) belajar dengan cara coba salah (Trial end error). Kalau organisme berada dalam suatu situasi yang mengandung masalah, maka organisme itu akan mengeluarkan serentakan tingkah laku dari kumpulan tingkah laku yang ada padanya untuk memecahkan masalah itu. Berdasarkan pengalaman itulah, maka pada saat menghadapi masalah yang serupa organisme sudah tahu tingkah laku mana yang harus di keluarkannya untuk memecahkan masalah. Thorndike juga merumuskan beberapa hukum dalam belajar yaitu:
1) Hukum kesiapan “Law of Readiness”
Dalam belajar seseorang harus dalam keadaan siap dalam artian seseorang yang belajar harus dalam keadaan yang baik dan siap, jadi seseorang yang hendak belajar agar dalam belajarnya menuai keberhasilan maka seseorang dituntut untuk memiliki kesiapan, baik fisik dan psikis, siap fisik seperti seseorang tidak dalam keadaan sakit, yang mana bisa menagganggu kualitas konsentrasi. Adapun contoh dari siap psikis adalah seperti seseorang yang jiwanya tidak lagi terganggu, seperti sakit jiwa dan lain-lain.
Disamping sesorang harus siap fisik dan psikis seseorang juga harus siap dalam kematangan dalam penguasaan pengetahuan serta kecakapan-kecakapan yang mendasarinya.
2) Hukum Latihan”Law of Exercise”
Untuk menghasilkan tindakan yang cocok dan memuaskan untuk merespon suatu stimulus maka seseorang harus mengadakan percobaan dan latihan yang berulang-ulang, adapun latihan atau pengulangan prilaku yang cocok yang telah ditemukan dalam belajar, maka ini merupakan bentuk peningkatan existensi dari perilaku yang cocok tersebut agar tindakan tersebut semakin kuat (Law of Use). Dalam suatu teknik agar seseorang dapat mentrasfer pesan yang telah ia dapat dari sort time memory ke long time memory ini di butuhkan pengulangan sebanyak-banyaknya dengan harapan pesan yang telah di dapat tidak mudah hilang dari benaknya.
Adapun dalam percobaan Throndike pada seekor kucing yang lapar yang ditaruh dalam kandang, pertama-tama kucing tadi membutuhkan waktu yang lama untuk mengetahui pintu kandang tersebut dan untuk menemukan pintu tersebut membutuhkan pecobaan tingkah laku yang berulang-ulang dan membutuhkan waktu yang relative lama untuk mendapatkan tingkah laku yang cocok, sehingga kucing tadi untuk keluartidak membutuhkan waktu yang lama.

3) Hukum Akibat “Law of Effect”
Setiap organisme memiliki respon sendiri-sendiri dalam menghadapi stimulus dan situasi yang baru, apabila suatu organisme telah menetukan respon atau tindakan yang melahirkan kepuasan dan keocokan dengan situasi maka hal ini pasti akan di pegang dan dilakuakn sewaktu-waktu ia di hadapakan dengan situasi yang sama. Sedangkan tingkah laku yang tidak melahirkan kepuasaan dalam menghadapi situasi dan stimulus maka respon yang seperti ini aka ditinggalkan selama-lamanya oleh pelaku. Hal ini terjadi secara otomatis bagi semua binantang (otomatisme).
Hukum belajar ini timbul dari percobaan thorndike pada seekor kucing yang lapar dan ditaruh dalam kandang, yang ditaruh makanan diluar kandang tersebut tepat didepan pintu kandang. Makanan ini merupakan effect positif atau juga bisa dikatakan bentuk dari ganjaran yang telah diberikan dari respon yang dilakukan dalam menghadapi situsai yang ada.
Prinsip-Prinsip Belajar yang Dikemukakan oleh Thorndike:
1. Pada saat seseorang berhadapan dengan situasi yang baru, berbagai respon yang ia lakukan. Adapun respon-respon tiap-tiap individu berbeda-beda tidak sama walaupun menghadapi situasi yang sama hingga akhirnya tiap individu mendapatkan respon atau tindakan yang cocok dan memuaskan. Seperti contoh seseorang yang sedang dihadapkan dengan problema keluarga maka seseorang pasti akan menghadapi dengan respon yang berbeda-beda walaupun jenis situasinya sama, misalnya orang tua dihadapkan dengan prilaku anak yang kurang wajar.
2. Dalam diri setiap orang sebenarnya sudah tertanam potensi untuk mengadakan seleksi terhadap unsur-unsur yang penting dan kurang penting, hingga akhirnya menemukan respon yang tepat. Seperti orang yang dalam masa pekembangan dan menyongsong masa depan maka sebenarnya dalam diri orang tersebut sudah menegetahui unsur yang penting yang harus dilakukan demi mendapatkan hasil yang sesuai dengan yang diinginkan.
3. Orang cenderung memberikan respon yang sama terhadap situasi yang sama. Seperti apabila seseorang dalam keadaan stress karena diputus oleh pacarnya dan ia mengalami ini bukan hanya kali ini melainkan ia pernah mengalami kejadian yang sama karena hal yang sama maka sudah barang tentu ia akan merespon situasi tersebut seperti yang ia lakukan seperti dahulu yang ia lakukan.
Kelemahan-kelemahan dari teori Thorndike
1. Terlalu memandang manusia sebagai organisme yang otomatis belaka disamakan dengan hewan. Meskipun banyak tingkah laku manusia yang otomatis, tetapi tidak selalu bahwa tingkah laku manusia itu dapat dipengaruhi secara trial and error. Trial and error tidak berlaku mutlak bagi manusia.
2. Memandang belajar hanya merupakan asosiasi belaka antara stimulus dan respon. Sehingga yang dipentingkan dalam belajar ialah memperkuat asosiasi tersebut dengan latihan-latihan, atau ulangan-ulangan yang terus menerus.
3. Karena belajar berlangsung secara mekanis, maka penegertian tidak dipandangnya sebagai suatu yang pokok dalam belajar. Mereka mengabaikan pengertian sebagai unsur yang pokok dalam belajar.
4. Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi pebelajar untuk berkreasi, bereksperimen dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya pebelajar kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka.
Alternatif Penerapan Teori Tersebut Dalam Pembelajaran Matematika
Alternatif dari Teori Thorndike dalam dunia pendidikan dan pengajaran
Menurut Thorndike praktek pendidikan harus dipelajari secara ilmiah dan praktek pendidikan harus dihubungkan dengan proses belajar. Mengajar bukanlah mengharapkan murid tahu apa yang diajarkan. Mengajar yang baik adalah tahu tujuan pendidikan, tahu apa yang hendak diajarkan artinya tahu materi apa yang harus diberikan, respons yang akan diharapkan dan tahu kapan “hadiah” selayaknya diberikan kepada peserta didik. Ada beberap aturan yang dibuat Thorndike berhubungan dengan pengajaran
ü  Perhatikan situasi peserta didik.
ü  Perhatikan respons yang diharapkan dari situasi tersebut.
ü  Ciptakan hubungan respons tersebut dengan sengaja, jangan mengharapkan hubungan terjadi dengan sendirinya.
ü  Situasi-situasi yang sama jangan diindahkan sekiranya memutuskan hubungan tersebut.
ü  Buat hubungan sedemikian rupa sehingga menghasilkan perbuatan nyata dari peserta didik.
ü  Bila hendak menciptakan hubungan tertentu jangan membuat hubungan-hubungan lain yang sejenis.
ü  Ciptakan suasana belajar sedemikian rupa sehingga dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam proses pendidikan di sekolah menurut Thorndike yaitu :
Ø  Sesuaikan dengan teorinya, dan sekolah harus mempunyai tujuan yang jelas.
Ø  Tujuan pendidikan harus sesuai dengan kemampuan siswa, bahan pengajaran harus dibagi menurut unit-unit, sehingga guru bisa memanipulasi bermacam-macam situasi misalnya situasi menyenangkan, tidak menyenangkan dan sebagainya.
Ø  Proses belajar harus bertahap, dimulai dari yang sederhana hingga yang kompleks.
Ø  Motivasi tidak perlu ditimbulkan kecuali dalam hubungan menentukan “apa yang menyenangkan bagi siswa“, oleh karena tingkah laku ditentukan oleh “eksternal reward” dan bukan oleh “intrinsic motivation”.
Ø  Tekanan pendidikan adalah perhatian pada pelaksanaan respons yang benar terhadap stimulus.
Ø  Respons yang salah harus segera diperbaiki agar tidak diulang kembali, ujian harus dilaksanakan secara teratur dan merupakan umpan balik bagi guru apakah proses belajar telah sesuai dengan tujuan.
Ø  Memberi masalah yang sulit kepada siswa tidak akan meningkatkan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah.
Ø  Bila siswa belajar secara baik, segera diberi hadiah (bisa berupa pujian, nilai bagus atau hadiah berupa barang), tetapi bila siswa berbuat salah harus segera ditegur atau diperbaiki agar tidak diulangi kembali.
Ø  Pendidikan yang baik adalah pelajaran yang didapat di sekolah oleh peserta didik dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari atau “pelajaran berbasis kenyataan”.











DAFTAR PUSTAKA

      http://www.scribd.com/doc/18092793/Kumpulan-Teori-Belajar:di akses  pada tanggal 24-07-2011
      http://blog.unsri.ac.id/syutaridho/desain-pembelajaran/teori-asosiasi-dari-thorndike/pdf/17564/: di akses pada tanggal 24-07-2011

RANGKUMAN TEORI PEMECAHAN MASALAH POLYA



Polya  merupakan seorang matematikawan yang Jangkauan matematika sangat beragam, namun yang memberi nama besar padanya adalah sistem gagasannya yang menjadi pedoman dalam penyelesaian masalah (problem solving). Polya Mengartikan pemecahan masalah sebagai satu usaha mencari jalan keluar dari satu kesulitan guna mencapai satu tujuan yang tidak begitu mudah untuk segera dicapai.

Polya mengklasifikasikan masalah dalam matematika sebagai berikut:
a)    One rule under your nose.
b)   Application with some choice.
c)    Choice of combination.
d)   Approaching research level.
Pedoman dalam menyelesaian masalah yang disingkat dengan:
1.    See (melihat),
2.    Plan (rencana),
3.    Do (kerjakan) dan
4.    Check (periksa kembali).

Ada empat gambaran umum dari Kerangka kerja Problem Solving Polya:
1.      Pemahaman pada masalah (Identifikasi tujuan)
Langkah pertama adalah membaca soalnya dan meyakinkan diri bahwa anda memahaminya secara benar.

2.      Membuat Rencana Pemecahan Masalah
Carilah hubungan antara informasi yang diberikan dengan yang tidak diketahui.

3.      Malaksanakan Rencana
Menyelesaikan rencana anda. Dalam melaksanakan rencana yang tertuang pada langkah kedua, kita harus memeriksa tiap langkah dalam rencana dan menuliskannya secara detail untuk memastikan bahwa tiap langkah sudah benar.

4.      Lihatlah kembali
Ujilah solusi yang telah didapatkan.Kritisi hasilnya. lihatlah kelemahan dari solusi yang didapatkan (seperti ketidak konsistenan atau ambiguitas atau langkah yang tidak benar ).
Suatu pertanyaan akan menjadi masalah jika pertanyaan itu menunjukan adanya suatu tantangan (chalange) yang tidak dapat dipecahkan oleh suatu prosedur rutin (routine procedure) yang sudah diketahui oleh si pelaku. Tidak semua pertanyaan merupakan suatu masalah. Bagi seseorang suatu pertanyaan bisa menjadi suatu masalah sedang bagi orang lain  tidak.

Teori Struktur Belajar Guilford


A.    Pendahuluan

Teori Guilford banyak membicarakan mengenai struktur intelejensi/kecerdasan seseorang yang banyak mengarah pada kretivitas seseorang. Guilford menerangkan tentang Kecerdasan yang di diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam menjawab melalui situasi sekarang untuk semua peristiwa masa lalu dan mengantisipasi masa yang akan datang. Dalam konteks ini maka yang namanya belajar adalah termasuk berpikir, atau berupaya berpikir untuk menjawab segala masalah yang dihadapi. Konsepnya memang kompleks, karena setiap masalah akan berbeda cara penanganannya bagi setiap orang.
Untuk itu diperlukan perilaku intelejen, yang tentu sangat berbeda dengan perilaku nonintelejen. Yang pertama (perilaku intelejen) ditandai dengan adanya sikap dan perubahan kreatif, kritis, dinamis, dan bermotif (bermotivasi), sedangkan yang kedua keadaannya sebaliknya. Pengertian kebiasaan juga mengandung arti kebiasaan kreatif, bukan kebiasaan pasif reaktif (mekanis) seperti pada pandangan kaum behavioris.

Hidup berarti menghadapi masalah, dan memecahkan masalah berarti tumbuh berkembang secara intelektual (J.P. Guilford) .P. Guilford mengemukakan bahwa inteligensi dapat dilihat dari tiga kategori dasar atau ³faces of intellect´, yaitu :
a. Operasi Mental (Proses Befikir)
1. Cognition (menyimpan informasi yang lama dan menemukan informasi yang baru).
2.  Memory Retention (ingatan yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari).
3.  Memory Recording (ingatan yang segera).
4. Divergent Production (berfikir melebar atau banyak kemungkinan jawaban/ alternatif).
5. Convergent Production (berfikir memusat atau hanya satu kemungkinan jawaban/alternatif).
6. Evaluation (mengambil keputusan tentang apakah suatu itu baik, akurat, atau memadai).
b. Content (Isi yang Dipikirkan)
1.  Visual (bentuk konkret atau gambaran).
2.  Auditory.
3.  Word Meaning (semantic).
4. Symbolic (informasi dalam bentuk lambang, kata-kata atau angka dan notasi musik).
5. Behavioral (interaksi non verbal yang diperoleh melalui penginderaan, ekspresi muka atau suara).
c. Product (Hasil Berfikir)
1. Unit (item tunggal informasi).
2. Kelas (kelompok item yang memiliki sifat-sifat yang sama).
3. Relasi (keterkaitan antar informasi).
4. Sistem (kompleksitas bagian saling berhubungan).
5. Transformasi (perubahan, modifikasi, atau redefinisi informasi).
6. Implikasi (informasi yang merupakan saran dari informasi item lain).

B.     Struktur Intelegensi
1.      Inteligensi dan IQ
Inteligensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif. secara garis besar dapat disimpulkan bahwa inteligensi adalah suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional. Oleh karena itu, inteligensi tidak dapat diamati secara langsung, melainkan harus disimpulkan dari berbagai tindakan nyata yang merupakan manifestasi dari proses berpikir rasional itu.

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi inteligensi adalah :
1. Faktor bawaan atau keturunan. Penelitian membuktikan bahwa korelasi nilai tes IQ dari satu keluarga sekitar 0,50. Sedangkan di antara 2 anak kembar, korelasi nilai tes IQnya sangat tinggi, sekitar 0,90. Bukti lainnya adalah pada anak yang diadopsi. IQ mereka berkorelasi sekitar 0,40 ± 0,50 dengan ayah dan ibu yang sebenarnya, dan hanya 0,10 ± 0,20 dengan ayah dan ibu angkatnya. Selanjutnya bukti pada anak kembar yang dibesarkan secara terpisah, IQ mereka tetap berkorelasi sangat tinggi, walaupun mungkin mereka tidak pernah saling kenal.
2. Faktor lingkungan. Walaupun ada ciri-ciri yang pada dasarnya sudah dibawa sejak lahir, ternyata lingkungan sanggup menimbulkan perubahan-perubahan yang berarti. Inteligensi tentunya tidak bisa terlepas dari otak. Perkembangan otak sangat dipengaruhi oleh gizi yang dikonsumsi. Selain gizi, rangsangan-rangsangan yang bersifat kognitif emosional dari lingkungan juga memegang peranan yang amat penting.
Orang seringkali menyamakan arti inteligensi dengan IQ, padahal kedua istilah ini mempunyai perbedaan arti yang sangat mendasar. Arti inteligensi sudah dijelaskan di depan, sedangkan IQ atau tingkatan dari Intelligence Quotient, adalah skor yang diperoleh dari sebuah alat tes kecerdasan. Dengan demikian, IQ hanya memberikan sedikit indikasi mengenai taraf kecerdasan seseorang dan tidak menggambarkan kecerdasan seseorang secara keseluruhan.

Skor IQ mula-mula diperhitungkan dengan membandingkan umur mental (Mental Age) dengan umur kronologik (Chronological Age). Bila kemampuan individu dalam memecahkan persoalan-persoalan yang disajikan dalam tes kecerdasan (umur mental) tersebut sama dengan kemampuan yang seharusnya ada pada individu seumur dia pada saat itu (umur kronologis), maka akan diperoleh skor 1. Skor ini kemudian dikalikan 100 dan dipakai sebagai dasar perhitungan IQ. Tetapi kemudian timbul masalah karena setelah otak mencapai kemasakan, tidak terjadi perkembangan lagi, bahkan pada titik tertentu akan terjadi penurunan kemampuan.
Adapun komponen utama inteligensi, yaitu kemampuan verbal, keterampilan pemecahan masalah, kemampuan belajar dan kemampuan beradaptasi dengan pengalaman dalam kehidupan sehari-hari. Inteligensi adalah kesanggupan mental untuk memahami, menganalisis secara kritis cermat dan teliti, serta menghasilkan ide-ide baru secara efektif dan efisien. Ada beberapa teori mengenai kecerdasan diantaranya ialah :
  • Teori keturunan- lingkungan
Teori ini mempunyai 3 versi teori. Teori pertama, memandang bahwa intelegensi lebih ditentukan oleh keturunan, Teori kedua intelegensi lebih ditentukan pada lingkungan, Teori ketiga ntelegensi sebagai hasil dari keturunan, lingkungan dan interaksinya keduanya
  • Teori Epistimologis - biologis
Mempunyai 2 anak teori, yang pertama bahwa intelegensi sebagai kemampuan berfkir jernih, analisis, dan konferhensip. Intelegensi merupakan kemampuan majemuk yaitu kemampuan menyelesaikan tugas- tugas sulit, rumit, abstrak, adaptif
  • Teori Struktural
Ada 2 model teori struktural, yaitu: Teori Guilford yang membedakan berfikir konvergentif dan divergentif, sedangkan teori Guftman melihat bahwa pemilihan tes dapat memperoleh matriks yang saling berhubungan
  • Teori Faktorial
mempunyai variasi diantaranya teori faktor binet bahwa intelegensi itu terdiri dari faktor kemampuan , kemampuan umum, kemampuan khusus yang saling berkaitan satu sama lain




2.      Pengukuran intelegensi
Pada tahun 1904, Alfred Binet dan Theodor Simon, 2 orang psikolog asal Perancis merancang suatu alat evaluasi yang dapat dipakai untuk mengidentifikasi siswa-siswa yang memerlukan kelas-kelas khusus (anak-anak yang kurang pandai). Alat tes itu dinamakan Tes Binet-Simon. Tes ini kemudian direvisi pada tahun 1911.
Tahun 1916, Lewis Terman, seorang psikolog dari Amerika mengadakan banyak perbaikan dari tes Binet-Simon. Sumbangan utamanya adalah menetapkan indeks numerik yang menyatakan kecerdasan sebagai rasio (perbandingan) antara mental age dan chronological age. Hasil perbaikan ini disebut Tes Stanford_Binet. Indeks seperti ini sebetulnya telah diperkenalkan oleh seorang psikolog Jerman yang bernama William Stern, yang kemudian dikenal dengan Intelligence Quotient atau IQ. Tes Stanford-Binet ini banyak digunakan untuk mengukur kecerdasan anak-anak sampai usia 13 tahun.

3.      Intelegensi dan bakat
            Inteligensi  adalah kemampuan untuk berpikir secara abstrak, merespon secara benar dan tepat serta menyesuaikan  dengan lingkungan. Di dalam struktur inteligensi menurut Guilford juga terkandung komponen ingatan. Inteligensi merupakan suatu konsep mengenai kemampuan umum individu dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Dalam kemampuan yang umum ini, terdapat kemampuan-kemampuan yang amat spesifik. Kemampuan-kemampuan yang spesifik ini memberikan pada individu suatu kondisi yang memungkinkan tercapainya pengetahuan, kecakapan, atau ketrampilan tertentu setelah melalui suatu latihan. Inilah yang disebut Bakat atau Aptitude. Karena suatu tes inteligensi tidak dirancang untuk menyingkap kemampuan-kemampuan khusus ini, maka bakat tidak dapat segera diketahui lewat tes inteligensi.
            Alat yang digunakan untuk menyingkap kemampuan khusus ini disebut tes bakat atau aptitude test. Tes bakat yang dirancang untuk mengungkap prestasi belajar pada bidang tertentu dinamakan Scholastic Aptitude Test dan yang dipakai di bidang pekerjaan adalah Vocational Aptitude Test dan Interest Inventory. Contoh dari Scholastic Aptitude Test adalah tes Potensi Akademik (TPA) dan Graduate Record Examination (GRE). Sedangkan contoh dari Vocational Aptitude Test atau Interest Inventory adalah Differential Aptitude Test (DAT) dan Kuder Occupational Interest Survey.

4.      Intelegensi dan kreativitas
Kreativitas merupakan salah satu ciri dari perilaku yang inteligen karena kreativitas juga merupakan manifestasi dari suatu proses kognitif. Meskipun demikian, hubungan antara kreativitas dan inteligensi tidak selalu menunjukkan bukti-bukti yang memuaskan. Walau ada anggapan bahwa kreativitas mempunyai hubungan yang bersifat kurva linear dengan inteligensi, tapi bukti-bukti yang diperoleh dari berbagai penelitian tidak mendukung hal itu. Skor IQ yang rendah memang diikuti oleh tingkat kreativitas yang rendah pula. Namun semakin tinggi skor IQ, tidak selalu diikuti tingkat kreativitas yang tinggi pula. Sampai pada skor IQ tertentu, masih terdapat korelasi yang cukup berarti. Tetapi lebih tinggi lagi, ternyata tidak ditemukan adanya hubungan antara IQ dengan tingkat kreativitas.
Para ahli telah berusaha mencari tahu mengapa ini terjadi. J. P. Guilford menjelaskan bahwa kreativitas adalah suatu proses berpikir yang bersifat divergen, yaitu kemampuan untuk memberikan berbagai alternatif jawaban berdasarkan informasi yang diberikan. Sebaliknya, tes inteligensi hanya dirancang untuk mengukur proses berpikir yang bersifat konvergen, yaitu kemampuan untuk memberikan satu jawaban atau kesimpulan yang logis berdasarkan informasi yang diberikan. Ini merupakan akibat dari pola pendidikan tradisional yang memang kurang memperhatikan pengembangan proses berpikir divergen walau kemampuan ini terbukti sangat berperan dalam berbagai kemajuan yang dicapai oleh ilmu pengetahuan.




C.    Alternatif teori guilford
Berpikir Kreatif
Peningkatan self regulated learning dapat dilakukan dengan cara menguatkan kemampuan berpikir kreatif. Sebab, elemen-elemen dalam berpikir kreatif dapat menjadi landasan bagi terwujudnya self regulated learning. Berpikir kreatif adalah berpikir lintas bidang, berpikir bisosiatif, berpikir lateral, berpikir divergen. Berpikir kreatif ditandai dengan karakteristik berpikir yang fluency, flexibility, originality, elaboration, redifinition, novelty (Guilford, 1973) Di samping itu, berpikir kreatif juga menuntut adanya pengikatan diri terhadap tugas (task commitment) yang tinggi. Artinya, kreativitas menuntut disiplin yang tinggi dan konsisten terhadap bidang tugas.

Kreativitas, menurut Guilford (1967), dapat dinilai dari ciri-ciri aptitude seperti kelancaran, fleksibilitas dan orisinalitas, maupun ciri-ciri non-aptitude, antara lain temperamen, motivasi, serta komitmen menyelesaikan tugas. Hidup berarti menghadapi masalah, dan memecahkan masalah berarti tumbuh berkembang secara intelektual (J.P. Guilford).

D.    Penerapan Teori Guilford Dalam Pembelajaran Matematika
Dalam pembelajarn matematika Contoh soal kreativitas yang di kembangkan oleh Guilford di terapkan mulai pada tingkat taman kanak-kanak, yaitu dalam mengenal bilangan, mengambar bangun datar dan bangun ruang.  Pada tingkat sekolah dasar maupun menengah bahkan pada tingkat perguruan tinggi terdapat beberapa materi yang esensisal yang memungkinkan anak untuk berkreatifitas misalnya materi geometri





contoh materi menentukan kretifitas siswa dalam memecahkan masalah :
  1. Siswa di kelas di perkenalkan sebuah bangun ruang, yaitu kubus ABCD EFGH yang disusun dari beberapa bidang sisi, siswa dikelas diperkenalkan salah satu jaring-jaring kubus :
Siswa diberikan waktu untuk memikirkan berdasarkan contoh yang telah diberikan untuk menemukan sendiri susunan jaring-jaring kubus yang lain.
2.      Dalam lomba pacuan kuda terdapat 15 lebih kaki kuda daripada ekornya. Berapa banyak kuda pada lomba itu?
Penye :
Cara 1.
Misal x = banyak kuda
x juga menyatakan banyak ekor kuda.
x+15 = 4x
3x = 15
x = 5.
Jadi, Banyak kuda adalah 5
Cara 2.
Kaki kuda 4 dan ekor satu.
Lebihnya ada 15
Kaki dikurangi ekor ada 3
Bagi 15/3 = 5.
Banyak kuda adalah 5

Kesimpulan
Kreativitas, menurut Guilford dapat dinilai dari ciri-ciri aptitude seperti kelancaran, fleksibilitas dan orisinalitas, maupun ciri-ciri non-aptitude, antara lain temperamen, motivasi, serta komitmen menyelesaikan tugas.

Guilford mengemukakan bahwa inteligensi dapat dilihat dari tiga kategori dasar atau “faces of intellect”, yaitu : Operasi Mental (Proses Befikir) , Content (Isi yang Dipikirkan), Visual (bentuk konkret atau gambaran). Auditory. Word Meaning (semantic). Symbolic (informasi dalam bentuk lambang, kata-kata atau angka dan notasi musik). Behavioral (interaksi non verbal yang diperoleh melalui penginderaan, ekspresi muka atau suara) dan Product (Hasil  Berfikir).