Sagu mempunyai peranan sosial, ekonomi, dan budaya
yang cukup penting di Propinsi Papua karena merupakan bahan makanan pokok bagi
masyarakat terutama yang bermukim di daerah pesisir. Pertanaman sagu di Papua
cukup luas, namun luas areal yang pasti belum diketahui. Flach (1983)
memperkirakan luas hutan sagu di Papua mencapai 980.000 ha dan kebun sagu
14.000 ha, yang tersebar pada beberapa daerah, yaitu Salawati, Teminabuan,
Bintuni, Mimika, Merauke, Wasior, Serui, Waropen, Membramo, Sarmi, dan Sentani Hutan
sagu merupakan komunitas yang terdiri atas campuran tanaman sagu dan tanaman
nonsagu.
Proporsi tanaman sagu dalam hutan sagu bervariasi antara kurang dari 30% sampai 90% (Haryanto dan Pangloli 1992). Hal ini menyulitkan dalam memperoleh data yang pasti mengenai luas daerah penyebaran sagu di Papua.
Proporsi tanaman sagu dalam hutan sagu bervariasi antara kurang dari 30% sampai 90% (Haryanto dan Pangloli 1992). Hal ini menyulitkan dalam memperoleh data yang pasti mengenai luas daerah penyebaran sagu di Papua.
Informasi mengenai teknologi budi daya sagu masih
sangat terbatas. Pemeliharaan kebun sagu yang dipraktekkan oleh petani masih
sangat sederhana, yaitu berupa pemangkasan pohon yang menaungi sagu dan
pembersihan gulma. Pemupukan, pengaturan air, dan teknik budi daya lainnya
belum dipraktekkan sehingga hasilnya juga belum maksimal. Selain itu,
usaha-usaha pengembangan sagu secara budi daya belum banyak mendapat perhatian
sehingga suatu saat hutan sagu akan terancam punah. Sementara itu di negara
lain seperti Malaysia dan Jepang, tanaman sagu sudah dikembangkan sejak
beberapa dasawarsa yang lalu (Widjono dan Lakuy 2000). Pada masa datang,
pengembangan dan budi daya sagu perlu mendapat perhatian. Tanaman sagu yang
tumbuh di Papua terdiri atas banyak jenis, dan sampai saatini telah
diidentifikasi 60 jenis pada empat
tempat di Papua (Widjono et al. 2000). Dari jenis-jenis ini ada yang
berpotensi hasil tinggi dan ada pula yang berpotensi hasil rendah dan sedang.
Tanaman sagu mempunyai banyak manfaat. Tepungnya
digunakan untuk bahan makanan pokok di Papua yang disebut papeda, di samping
untuk kue dan bahan baku untuk pembuatan spirtus atau alkohol. Daunnya
digunakan sebagai atap rumah, pelepah untuk dinding rumah, dan ampasnya dapat
dimanfaatkan sebagai pulp untuk pembuatan kertas atau pakan ternak (Haryanto
dan Pangloli 1992; Batseba et al. 2000).
Kondisi dan Tempat Tumbuh Pohon
Sagu
Sagu dapat tumbuh sampai pada ketinggian 700 m di
atas permukaan laut (dpl), namun produksi sagu terbaik ditemukan sampai
ketinggian 400 m dpl. Menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson (1951), tipe
iklim A dan B sangat ideal untuk pertumbuhan sagu dengan rata-rata hujan tahunan
2.500-3.000 mm/tahun. Suhu optimal untuk pertumbuhan sagu berkisar antara 24,50-29o
C dan suhu minimal 15oC, dengan kelembapan nisbi 90% (Haryanto dan
Pangloli 1992 ). Tanaman sagu membutuhkan air yang cukup, namun penggenangan
permanen dapat mengganggu pertumbuhan sagu.
Tinggi tanaman pada penggenangan berkala hampir lima
kali lipat dari tinggi tanaman pada penggenangan permanen atau tanpa
penggenangan. Demikian pula dalam pembentukan anakan, penggenangan berkala
mampu membentuk anakan dua kali lebih banyak dibanding penggenangan permanen
atau tanpa penggenangan. Rendahnya pertumbuhan dan pembentukan anakan pada
penggenangan permanen disebabkan oleh kurangnya oksigen di daerah perakaran
karena semua pori tanah terisi oleh air. Sebaliknya pada daerah tanpa penggenangan
terjadi kekurangan air terutama pada musim kemarau. Untuk memperbaiki
pertumbuhan sagu pada daerah yang tergenang secara permanen perlu dilakukan
perbaikan drainase, sedangkan pada daerah tanpa penggenangan perlu pengaturan
pemberian air.
Pengertian mengenai hutan sagu adalah hutan yang
didominasi oleh tanaman sagu. Selain sagu, masih banyak tanaman lain yang
ditemukan dalam kawasan tersebut. Selain itu, dalam satu hamparan hutan sagu
tidak hanya tumbuh satu jenis sagu, tetapi terdapat beragam jenis sagu dan
struktur tanaman.
Struktur
tanaman sagu dalam satu hamparan bertingkat-tingkat yang terdiri atas semaian,
sapihan, tiang, dan pohon. Semaian adalah tanaman muda yang batangnya bebas
daun hingga ketinggian 0-0,50 m; sapihan adalah tanaman yang batangnya bebas
daun antara 0,50-1,50 m; tiang adalah tanaman yang batangnya bebas daun dari
ketinggian 1,50-5 m, dan pohon adalah tanaman yang batangnya bebas daun pada
ketinggian 5 m atau lebih (Haryanto dan Pangloli 1992).
Jenis- Jenis Sagu
Secara garis besar tanaman sagu dibagi menjadi dua
golongan, yaitu sagu yang hanya berbunga dan berbuah satu kali, dan sagu yang
berbunga dan berbuah dua kali atau lebih. Sagu yang berbunga dan berbuah hanya
sekali mempunyai arti ekonomi penting karena kandungan acinya sangat tinggi.
Golongan ini terdiri atas lima spesies, yaitu Metroxylon rumpii Martius,
M. sagos Rottbol, M. Sylvester Martinus, M. longispinum Martinus,
dan M. micracantum Martinus (Manan et al. dalam Haryanto dan
Pangloli 1992). Spesies yang berkembang di Propinsi Papua adalah M. rumpii Martius
(Tokede dan Fere 1997). Spesies ini masih terbagi ke dalam banyak jenis atau
tipe berdasarkan ciri morfologi dan telah dikenal oleh masyarakat pengelola
sagu dengan menggunakan penamaan lokal.
Miftachorrachman et al. (1996) telah
mengidentifikasi 17−20 jenis sagu di Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua.
Jenis-jenis tersebut sudah mempunyai nama lokal dan sudah dikenal oleh
masyarakat pengelola sagu di Papua. Nama-nama lokal sagu tersebut adalah
sebagai berikut: Yakhali, Fikhela, Phane, Osoghulu, Yoghuleng, Rena, Hobolo,
Yebha, Hili, Wanni, Follo, Habela, Yaghalobe, Phui, Phara Waliha, Rondo,
Ebesung, Manno, Ruruna, dan Phara. Jenis-jenis sagu ini berbeda secara
morfologi maupun kemampuan produksi per pohon.
Untuk mempertahankan eksistensi jenis sagu penghasil
tepung tinggi dan sangat tinggi di masa datang diharapkan adanya upaya
perlindungan melalui kegiatan koleksi plasma nutfah. Widjono et al.
(2000) telah mengidentifikasi 61 jenis sagu pada empat lokasi di Papua.
Identifikasi dilakukan menurut sifat-sifat kualitatif yang meliputi warna
pucuk, bentuk duri, pelepah daun, diameter batang, warna tepung, bentuk tajuk,
dan produksi tepung. Dari 61 jenis yang ditemukan, 32 di antaranya mempunyai
produksi tinggi dan telah banyak dimanfaatkan oleh penduduk.
Jenis-jenis sagu ini merupakan kekayaan hayati yang
tidak ternilai bagi daerah Papua. Untuk mempertahankan keberlanjutannya,
jenis-jenis ini perlu dilindungi dan dibudidayakan secara normal. Untuk
memperkaya bahan pertanaman budi daya sagu, jenis-jenis ini perlu dilepas dan
diberi nama baku secara nasional.
TEKNIK
BUDI DAYA LOKAL DAN PENGOLAHAN HASIL SAGU
a. Teknik
Budi Daya
Pengetahuan masyarakat Papua tentang budi daya sagu
diperoleh secara turun temurun dan kebanyakan berhubungan dengan mitos. Budi
daya sagu yang dipraktekkan masyarakat meliputi pemilihan jenis sagu
berproduksi tinggi, pemilihan bibit, cara tanam, dan pemeliharaan tanaman.
Pemilihan bibit didasarkan atas kriteria tertentu menurut asal pengambilan dan
tinggi tanaman. Bibit biasanya diambil dari tunas yang berasal dari pangkal
batang (bukan dari tunas akar), tunas dari pohon yang siap panen, dan tunas
yang terletak di atas permukaan tanah. Tunas yang umum digunakan adalah yang
berasal dari pohon yang siap untuk dipanen. Hal ini dilakukan untuk menghindari
kerugian sebagai akibat pelukaan yang terjadi pada saat pengambilan tunas.
Menurut persepsi masyarakat setempat, luka pada pohon induk pada saat
pengambilan tunas akan mengganggu proses metabolisme sehingga menurunkan
produksi aci. Selain asal bibit, tinggi bibit juga digunakan sebagai salah satu
kriteria penting dalam pemilihan bibit. Tinggi bibit yang dipilih untuk ditanam
diharuskan tidak kurang dari 1 m (Tokede dan Fere 1997).
Untuk menjamin keberhasilan penanaman sagu di
lapangan, masyarakat Papua menggunakan perlakuan khusus terhadap bibit yang
akan ditanam. Perlakuan ini berbeda-beda antarkelompok masyarakat (Tabel 6).
Masyarakat Taminabuan tidak melakukan perendaman karena bibit yang diambil
umumnya sudah membentuk akar serabut baru. Sementara masyarakat Inanwatan dan
Wandamen melakukan perendaman karena sebagian akar serabut dari bibit dipotong.
Perendaman dilakukan untuk merangsang tumbuhnya akar serabut baru.
Penanaman
dilakukan pada lubang yang berdiameter 20−30 cm dengan kedalaman lubang 25−35
cm. Jarak tanam yang digunakan berkisar antara 4 m x 4 m sampai 10 m x 10 m.
Sebelum penanaman, lubang tanam diisi dengan daun matoa atau daun paku-pakuan.
Daun-daunan ini berfungsi sebagai sumber bahan organik bagi tanaman sagu.
Setelah bibit diturunkan ke dalam lubang, lubang ditutup dengan tanah sebatas
leher anakan. Penutupan lubang tidak boleh melebihi leher anakan, sesuai dengan
cara tanam yang dianjurkan (Rostiwati et al. 1999).
b.
Pengolahan
Sagu
Batang merupakan komponen hasil utama pada tanaman
sagu. Tepung sagu diperoleh dari empulur sehingga pengolahan hasilnya cukup
berat dan memerlukan alat yang khusus pula. Batang sagu yang sudah ditebang
selanjutnya dikuliti untuk mendapatkan empulur yang mengandung tepung.
Selanjutnya, empulur yang dihasilkan diparut agar memudahkan peremasan
(pengepresan). Peremasan dilakukan dengan menggunakan alat pres untuk
mengeluarkan pati dari parutan empulur. Setelah selesai peremasan, dilakukan
penyaringan untuk membuang serat-serat kasar dari empulur. Suspensi pati yang
didapatkan kemudian diendapkan untuk memisahkan tepung sagu dari air. Langkah
selanjutnya adalah pengeringan, pengepakan dan penyimpanan atau distribusi ke
konsumen. Tiap tahapan kegiatan atau jenis pekerjaan menggunakan alat yang
berbeda-beda.
Peralatan pengolahan sagu sudah tersedia atau mudah
disediakan kecuali untuk kegiatan pemarutan. Pemarutan empulur dapat dilakukan
dengan menggunakan alat berupa silinder berpaku yang digerakkan oleh generator.
Silinder berpaku mudah direkayasa di pedesaan, sementara generator membutuhkan
biaya yang cukup mahal. Kondisi seperti ini tidak mudah bagi kebanyakan
masyarakat Papua yang rata-rata berpendapatan sangat rendah. Oleh karena itu,
umumnya masyarakat Papua menggunakan teknik pengolahan dan peralatan
tradisional biasanya menggunakan kayu benrbentuk melengkung dan di ujungnya
terdapat ring dari besi atau pipa yang di potong, pengolahan menggunakan alat
ini di sebut dengan pangkur sagur (merauke). Pangkur merupakan alat pemarut
empulur untuk mempermudah peremasan, sedangkan alat peremas digunakan untuk
memisahkan tepung sagu dari empulur.
KEGUNAAN SAGU
Sagu mempunyai banyak kegunaan, di mana hampir semua
bagian tanaman mempunyai manfaat tersendiri. Batangnya dapat dimanfaatkan
sebagai tiang atau balok jembatan, daunnya sebagai atap rumah, pelepahnya untuk
dinding rumah, dan acinya sebagai sumber karbohidrat (bahan pangan) dan untuk
industri (Haryanto dan Pangloli 1992).
Aci sagu dapat diolah menjadi berbagai jenis
makanan, baik makanan pokok maupun makanan ringan. Oleh karena itu, tanaman
sagu memegang peranan penting dalam penganekaragaman makanan untuk menunjang
stabilitas pangan dan berpeluang untuk dikembangkan menjadi usaha industri
rumah tangga. Papeda dan kapurung merupakan makanan pokok bagi sebagian
penduduk asli Maluku, Papua, dan Sulawesi Selatan. Ini berarti bahwa bila sagu
dapat dipertahankan sebagai bahan makanan pokok bagi sebagian penduduk di tiga
daerah tersebut, maka beban pengadaan beras nasional menjadi lebih ringan. Sagu
lempeng, buburnee, dan bagea berpeluang untuk dikembangkan menjadi industri
rumah tangga. Menado (Sulawesi Utara) terkenal dengan bagea sagu sebagai
oleh-oleh bagi wisatawan yang berkunjung ke daerah tersebut. Melihat pertanaman
sagu di Papua yang sangat luas, peluang pengembangan industri rumah tangga
hasil olahan sagu sangat besar. Peningkatan kualitas sumber daya manusia dan
keterampilan masyarakat Papua dapat menopang keberhasilan pengembangan industri
rumah tangga berbasis sagu. Untuk itu, pelatihan dan alih teknologi perlu
mendapat perhatian.
Sumber:
Jurnal Litbang Pertanian 2003
M.
Zain Kanro, Aser Rouw, A. Widjono, Syamsuddin, Amisnaipa, dan Atekan
Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Papua, Jalan Yahim Sentani, Kotak Pos 256 Sentani, Jayapura 99352
terima kasih atas isi blognya..
BalasHapusTnks, Info yang Baik.
BalasHapus