Sabtu, 26 November 2011

Teori Belajar Bermakna Ausubel


I.       Teori Belajar Bermakna Ausubel
A.    Pengertian Teori Belajar

Teori belajar adalah suatu teori yang di dalamnya terdapat tata cara pengaplikasian kegiatan belajar mengajar antara guru dan siswa, perancangan metode pembelajaran yang akan dilaksanakan di kelas maupun di luar kelas. Dalam prosesnya, teori belajar ini membutuhkan berbagai sumber sarana yang dapat menunjang, seperti : lingkungan kelas, kondisi psikologi siswa, perbedaan tingkat kecerdasan siswa.

Semua unsur ini dapat dijadikan bahan acuan untuk menciptakan suatu model teori belajar yang dianggap cocok, tidak perlu terpaku dengan kurikulum yang ada asalkan tujuan dari teori belajar ini sama dengan tujuan pendidikan.

B.     Pengertian Belajar Bermakna

Menurut David P. Ausubel, ada dua jenis belajar:
1.      Belajar Bermakna (Meaningfull Learning)
Belajar dikatakan bermakna bila informasi yang akan dipelajari peserta didik disusun sesuai dengan struktur kognitif yang dimiliki peserta didik itu sehingga peserta didik itu dapat mengaitkan informasi barunya dengan struktur kognifitif yang dimilikinya. Sehingga peserta didik menjadi kuat ingatannya dan transfe belajarnya mudah dicapai. Struktur kognitif dapat berupa fakta-fakta, konsep-konsep maupun generalisasi yang telah diperoleh atau bahkan dipahami sebelumnya oleh siswa.

2. Belajar Menghafal (Rote Learning)
Bila struktur kognitif  yang cocok dengan fenomena baru itu belum ada maka informasi baru tersebut harus dipelajari secara menghafal. Belajar menghafal ini perlu bila seseoarang memperoleh informasi baru dalam dunia pengetahuan yang sama sekali tidak berhubungan dengan apa yang ia ketahiu sebelumnya.

C.     Dua Dimensi Belajar Bermakna Menurut Ausubel

Menurut Ausubel belajar dapat diklasifikasikan kedalam dua dimensi. Dimensi pertama berhubungan dengan cara informasi atau materi pelajaran itu disajikan kepada siswa melalui penerimaan atau penemuan. Selanjutnya dimensi kedua menyangkut bagaimana siswa dapat mengaitkan informasi itu pada struktur kognitif yang telah ada. Jika siswa hanya mencoba menghafalkan informasi baru itu tanpa menghubungkan dengan struktur kognitifnya, maka terjadilah belajar dengan hafalan. Sebaliknya jika siswa menghubungkan atau mengaitkan informasi baru itu dengan struktur kognitifnya maka yang terjadi adalah belajar bermakna.

D.    Empat Tipe Belajar Menurut Ausubel
1.       Belajar dengan penemuan yang bermakna
Informasi yang dipelajari, ditentukan secara bebas oleh peserta didik. Peserta didik itu kemudian menghubungkan pngetahuan yang baru itu dengan struktur kognitif yang dimiliki. Misalnya peserta didik diminta menemukan sifat- sifat suatu bujur sangkar. Dengan mengaitkan pengetahuan yang sudah dimiliki, seperti sifat-sifat persegi panjang, peserta didik dapat menemukan sendiri sifat- sifat bujur sangkar tersebut.
2.      Belajar dengan penemuan tidak bermakna
Informasi yang dipelajari, ditentukan secara bebas oleh peserta didik, kemudian ia menghafalnya. Misalnya, peserta didik menemukan sifat- sifat bujur sangkar tanpa bekal pengetahuan sifat- sifat geometri yang berkaitan dengan segiempat dengan sifat- siafatnya, yaitu dengan penggaris dan jangka. Dengan alat- alat ini diketemukan sifat- sifat bujur sangkar dan kemudian dihafalkan.

3.      Belajar menerima yang bermakna
Informasi yang telah tersusun secara logis di sajikan kepada peserta didik dalam bentuk final/ akhir, peserta didik kemudian menghubungkan pengetahuan yang baru itu dengan struktur kognitif yang dimiliki. Misalnya peserta didik akan mempelajari akar-akar persamaan kuadrat. Pengajar mempersiapkan bahan- bahan yang akan diberikan yang susunannya diatur sedemikian rupa sehingga materi persamaan  kuadrat tersebut dengan mudah ter’tanam’ kedalam konsep persamaan yang sudah dimiliki peserta didik. Karena pengertian persamaan lebih inklusif dari pada persamaan kuadrat, materi persamaan tersebut dapat dipelajari peserta didik secara bermakna.
4.      Belajar menerima yang tidak bermakna
Dari setiap tipe bahan yang disajikan kepada peserta didik dalam ben tuk final. Peserta didik tersebut kemudian menghafalkannya. Bahan yang disajikan tadi tanpa memperhatikan pengetahuan yang dimiliki peserta didik.

E.     Prasyarat Belajar Bermakna
a.       Kondisi dan sikap peserta didik terhadap tugas, hendaknya besesuaian dengan intensi peserta didik. Apabila peserta didik melaksanakan tugas dengan sikap bahwa ia ingin memahami bahan pelajaran dan mengaplikasikan bahan baru serta menghubungkan bahan pelajaran yang terdahulu, dikatakan peserta didik itu belajar bahan baru dengan cara yang bermakna. Sebaliknya bila peserta didik itu tidak berkehendak mengaitkan bahan yang yang dipelajari dengan informasi yang dimiliki, maka belajar itu tidak bermakna. Demikianlah banyak peserta didik yang tidak berusaha mengerti matematika, cenderung mengalami kegagalan dan akhirnya membenci matematika.
b.      Tugas-tugas yang diberikan kepada peserta didik harus sesuai dengan struktur kognitif peserta didik sehingga peserta didik tersebut dapat mengasimilasi bahan baru secara bermakna. Belajar bermakna pada tahap mula-mula memberikan pengertian kepada bahan baru sehingga bahan baru itu akan terserap dan kemudian diingat peserta didik. Ia tidak menghafal asosiasi stimulus-respon yang terpisah-pisah.
c.       Tugas-tugas yang diberikan haruslah sesuai dengan tahap perkembangan intelektual peserta didik. Peserta didik yang masih di dalam periode operasi konkrit, bila diberi bahan materi matematika yang abstrak tanpa contoh- contoh konkrit dari materi tersebut, akan mengakibatkan peserta didik itu tidak mempunyai keinginan materi tersebut secara bermakna. Dengan demikian peserta hanya menghafal pelajaran tadi tanpa pengertian sehingga peserta didik mempelajari matematika dengan pernyataan- pernyataan herbal yang tidak cermat dan tepat.    



F.      Menghindari Belajar Hafalan
Jika seorang anak berkeinginan untuk mengingat sesuatu tanpa mengaitkan hal yang satu dengan hal yang lain maka baik proses maupun hasil pembelajarannya dapat dinyatakan sebagai hafalan dan tidak akan bermakna sama sekali baginya.
Contoh lain yang dapat dikemukakan tentang belajar hafalan ini adalah beberapa siswa SD kelas 1 atau 2 yang dapat mengucapkan: “Ini Budi. Ini Ibu Budi,” namun ia tidak dapat menentukan sama sekali mana yang “i” dan mana yang “di”. Contoh lain dari belajar menghafal adalah siswa yang dapat mengingat dan menyatakan rumus luas persegipanjang adalah l = p × l, namun ia tidak bisa menentukan luas suatu persegi panjang karena ia tidak tahu arti lambang l, p, dan l. 

Setelah itu, si anak harus mampu mengaitkan antara pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang sudah dipunyainya, sehingga proses pembelajarannya menjadi bermakna..

” Jelaslah bahwa pengetahuan yang sudah dimiliki siswa akan sangat menentukan berhasil tidaknya suatu proses pembelajaran. Untuk menjelaskan tentang belajar bermakna ini, perhatikan tiga bilangan berikut. 
                 Menurut Anda, dari tiga bilangan berikut: 
a.       50, 471, 198
b.      54, 918, 071
c.       17, 081, 945

manakah yang lebih mudah dipelajari atau diingat para siswa? Seorang siswa dapat saja mengingat ketiga bilangan tersebut yaitu dengan mengucapkan bilangan tersebut berulang-ulang beberapa kali. Namun sebagai warga bangsa Indonesia tentunya Bapak dan Ibu Guru akan meyakini bahwa bilangan (c) yaitu 17.081.945 merupakan bilangan yang paling mudah dipelajari jika bilangan tersebut dikaitkan dengan tanggal 17 – 08 – 1945 yang merupakan hari kemerdekaan Republik Indonesia.

Proses pembelajaran bilangan 17.081.945 (tujuh belas juta delapan puluh satu ribu sembilan ratus empat puluh lima) akan bermakna bagi siswa hanya jika si siswa, dengan bantuan gurunya, dapat mengaitkannya dengan tanggal keramat 17 Agustus 1945 yang sudah ada di dalam kerangka kognitifnya. 
Bilangan (b) yaitu 54.918.071 akan lebih mudah dipelajari siswa daripada bilangan (a) yaitu 50.471.198 karena bilangan (b) didapat dari tanggal 17–08–1945 dalam urutan terbalik yaitu 5491–80–71.

 Bilangan (a) merupakan bilangan yang paling sulit untuk dipelajari karena aturan atau polanya belum diketahui. Contoh di atas menunjukkan bahwa suatu proses pembelajaran akan lebih mudah dipelajari dan dipahami siswa jika para guru mampu dalam memberi kemudahan bagi siswanya sedemikian sehingga para siswa dapat mengaitkan pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya. Itulah inti dari belajar bermakna (meaningful learning) yang telah digagas David P Ausubel.



G.    Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Belajar Bermakna

Faktor-faktor utama yang mempengaruhi belajar bermakna menurut Ausubel adalah struktur kognitif yang ada, stabilitas, dan kejelasan pengetahuan dalam suatu bidang studi tertentu dan pada waktu tertentu. Sifat-sifat struktur kognitif menentukan validitas dan kejelasan arti-arti yang timbul waktu informasi baru masuk ke dalam struktur kognitif itu; demikian pula sifat proses interaksi yang terjadi. 
Jika struktur kognitif itu stabil, dan diatur dengan baik, maka arti-arti yang sahih dan jelas atau tidak meragukan akan timbul dan cenderung bertahan. Tetapi sebaliknya jika struktur kognitif itu tidak stabil, meragukan, dan tidak teratur, maka struktur kognitif itu cenderung menghambat belajar dan retensi.

H.  Kondisi- Kondisi Belajar Bermakna
1.    Menjelaskan hubungan atau relevansi bahan- bahan baru dengan bahan- bahan lama.
2.    Lebih dahulu diberikan ide yang paling umum dan kemudian hal- hal yang lebih terperinci.
3.    Menunjukkan persamaan dan perbedaan antara bahan baru dengan bahan lama.
4.    Mengusahakan agar ide yang telah ada dikuasai sepenuhnya sebelum ide yang baru disajikan.




I.      Kelebihan Belajar Bermakna
                 Ada tiga kelebihan dari belajar bermakna yaitu :
1.  Informasi yang dipelajari secara bermakna lebih lama diingat
2. Informasi yang dipelajari secara memudahkan proses belajar berikutnya untuk materi pelajaran yang mirip
         3. Informasi yang dipelajari secara bermakna mempermudah belajar     hal- hal yang mirip walaupun telah terjadi lupa.

II.                Penerapan Pembelajaran Bermakna

Ausubel berpendapat bahwa guru harus dapat mengembangkan potensi kognitif siswa melalui proses belajar yang bermakna. Sama seperti Bruner dan Gagne, Ausubel beranggapan bahwa aktivitas belajar siswa, terutama mereka yang berada di tingkat pendidikan dasar- akan bermanfaat kalau mereka banyak dilibatkan dalam kegiatan langsung. Namun untuk siswa pada tingkat pendidikan lebih tinggi, maka kegiatan langsung akan menyita banyak waktu. Untuk mereka, menurut Ausubel, lebih efektif kalau guru menggunakan penjelasan, peta konsep, demonstrasi, diagram, dan ilustrasi. Inti dari teori belajar bermakna Ausubel adalah proses belajar akan mendatangkan hasil atau bermakna kalau guru dalam menyajikan materi pelajaran yang baru dapat menghubungkannya dengan konsep yang relevan yang sudah ada dalam struktur kognisi siswa.

Pada belajar bermakna siswa dapat mengasimilasi pada belajar bermakna secara penerimaan, materi pelajaran disajikan dalam bentuk final, sedangkan pada belajar bermakna secara penemuan, siswa diharapkan dapat menemukan sendiri informasi konsep atau dari materi pelajaran yang disampaikan. Belajar bermakna dapat terjadi jika siswa mampu mengkaitkan materi pelajaran baru dengan struktur kognitif yang sudah ada. Struktur kognitif tersebut dapat berupa fakta-fakta, konsep-konsep maupun generalisasi yang telah diperoleh atau bahkan dipahami sebelumnya oleh siswa. Bruner memandang manusia sebagai pemproses, pemikir, dan pencipta informasi.

Anak harus mengubah dirinya untuk melakukan hal itu, sebagai contoh, jika seorang anak menemukan sebuah benda yang menghalangi jalan bagi mainannya (mobil-mobilan misalnya), anak tersebut menemukan penyelesaian yang membuat dirinya dapat memudahkan benda yang menghalangi itu dan mainannya dapat berjalan lagi. Asimilasi di lain pihak, adalah kemampuan anak mengubah untuk memenuhi apa yang ia imajinasikan. Anak memiliki ide apa yang ia inginkan dan memodifikasi lingkungan untuk mencapai hal tersebut. 

Ia mungkin melakukan modifikasi melalui aktifitas mental, misalnya seorang anak berumur 4 tahun menganggap sebatang sedotan minuman sebagai tongkat ajaib atau lempengan plastik dianggapnya sebagi pedang yang ampuh. Namun, dapat juga ia melakukannya dengan aktifitas fisik, misalnya seorang anak membuat rumah rumahan, sebuah arca atau sebuah candi dari pasir. Hal ini sering dihubungkan dengan ‘bermain’ (play), yang sangat disukai oleh anak-anak. Memang antarasimilasi dan bermain terdapat hubungan yang sangat erat. 

Kita semua tahu bahwa anak suka bermain dan asimilasi menjelaskan mekanisme psikologis mengenai hal itu. Dalam bermain anak-anak mentransformasikan objek-objek untuk memenuhi imajinasi yang ada pada dirinya. Secara mudah dapat dikatakan bahwa asimilasi melibatkan proses transformasi pengalaman di dalam pikiran, sedangkan akomodasi melibatkan proses penyesuaian pikiran terhadap pengalaman yang baru. Pada sembarang tahapan (stage) perkembangan, akomodasi atau asimilasi salah satu untuk sementara mendominasi dan baru kemudian digantikan oleh yang lain. Akhirnya suatu keseimbangan (equilibrium) akan diperoleh (untuk tahapan tertentu) melalui proses penyeimbangan atau ekuilibrasi (equilibration). Ekuilibrasi adalah kemampuan anak untuk menyusun dan mengatur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SILAHKAN BERKOMENTAR